7 Oktober: 2 Tahun Sejak Badai Al-Aqsa, Revolusi yang Mengguncang Dunia
Sebuah refleksi mendalam tentang dua tahun warisan Operasi 7 Oktober, kebangkitan perjuangan anti-kolonial, dan semangat abadi Perlawanan Palestina
Palestina, FAKTABERITAGLOBAL.COM — Kita resmi memasuki peringatan dua tahun 7 Oktober, dua tahun sejak dunia menyaksikan dengan takjub ketika video pagi buta memperlihatkan para pejuang Perlawanan Palestina terbang melintasi tembok penjara yang telah mengurung Gaza selama puluhan tahun.
Dua tahun perang — perang yang kekejamannya dan keteguhan perlawanan direkam serta disaksikan dunia seperti belum pernah terjadi sebelumnya.
Dua tahun yang ditandai dengan jeritan global, pergeseran aliansi, dan keteguhan tanpa henti — di mana para pejuang Perlawanan mengorbankan segalanya demi kebebasan.
Sebelum 7 Oktober, perjuangan untuk Palestina sebagian besar hanya ada di atas kertas, terkubur dalam lembaga-lembaga internasional yang menyingkirkan suara Palestina, terbatas pada bentrokan kecil antara penjajah dan rakyat yang berjuang untuk bernapas.
Namun 7 Oktober membuktikan bahwa kemerdekaan tidak diberikan atas dasar belas kasihan, tidak pula ditandatangani di ruang perundingan — melainkan diraih oleh mereka yang menolak hidup berlutut.
Kelahiran Kembali Semangat Anti-Kolonial Global
Peristiwa 7 Oktober menyalakan kembali energi revolusioner yang belum pernah terlihat sejak revolusi Kuba dan Aljazair, ketika bangsa-bangsa berhasil mengusir penjajah dan merebut kembali kedaulatannya.
Dari operasi fajar yang berani hingga pertempuran panjang yang menyusul, Perlawanan Palestina mengingatkan dunia bahwa dekolonisasi masih hidup, bahwa sejarah belum berakhir, dan bahwa kaum tertindas masih memiliki kekuatan untuk menghadapi penjajahnya.
Hari itu juga mengubah narasi global — membuktikan bahwa pihak “yang lemah” masih memiliki keberanian dan kemampuan untuk menantang entitas yang dibangun atas dasar penindasan dan penghapusan.
Badai Dimulai
Pukul 06.31 pagi waktu setempat, 7 Oktober 2023, sirene serangan udara terdengar di seluruh wilayah pendudukan — dari daerah sekitar Gaza hingga Tel Aviv (Yafa yang diduduki). Dua puluh menit kemudian, media Palestina melaporkan puluhan roket ditembakkan secara beruntun ke arah target militer Israel.
Tak lama kemudian, muncul rekaman pejuang Perlawanan menyerbu pangkalan dan permukiman Israel, menembus dinding yang selama ini dianggap tak tertembus.
Dalam sebuah pernyataan berdurasi sepuluh menit, Mohammad Al-Deif, Kepala Staf Brigade Al-Qassam yang kini telah gugur syahid, mengumumkan dimulainya Badai Al-Aqsa.
Tak lama setelah itu, juru bicara Al-Qassam, Abu Ubaidah, menyatakan:
“Musuh ini akan terbangun dalam keterkejutan ketika menyadari sejauh mana kekecewaannya. Ketahuilah bahwa Badai Al-Aqsa akan dilaksanakan sesuai rencana.”
Demikian pula, Abu Hamza, juru bicara yang juga gugur syahid dari Brigade Al-Quds (PIJ), menyatakan:
“Hari ini, Perlawanan mencatat babak baru kemenangan. Musuh, terhina dan dikalahkan, merasakan maut di setiap tempat. Kami telah memperingatkan mereka agar pergi dengan damai; mereka menolak — maka membunuh menjadi jalan kami.”
Retaknya Mitos Keamanan Israel
Kejutan terbesar dari operasi ini tidak hanya terletak pada pelaksanaannya, tetapi juga pada kehancuran simbolis terhadap ilusi keamanan Israel — mitos yang hingga kini menghantui masyarakat mereka.
Selama bertahun-tahun, Israel membanggakan dominasi teknologinya dan pertahanan besinya — dari tembok beton setinggi enam meter hingga menara senjata otomatis dan drone pengintai. Namun pagi itu, semua pertahanan itu runtuh hanya dalam hitungan menit.
Menurut media Israel:
“Serangan besar-besaran yang terjadi pada fajar Sabtu dilakukan di bawah lindungan hujan roket … melibatkan tembakan penembak jitu, bahan peledak yang dijatuhkan drone di menara pengintai dan komunikasi, serta buldoser yang menembus pagar ganda setinggi enam meter di sekitar 30 titik perbatasan.”
Drone-drone Palestina yang melumpuhkan kamera dan menara senjata Israel menciptakan “retakan pada bendungan,” menghancurkan keunggulan pengawasan Israel dan memaksa pilot mereka terbang dalam keadaan buta.
Ketergantungan berlebihan pada teknologi justru menjadi kelemahan Israel — saat para pejuang Palestina melaksanakan operasi dengan presisi, menawan tentara dan kembali dengan selamat, sementara pasukan Israel kebingungan dan panik mencari bala bantuan.
Perang Media: Perlawanan di Semua Front
Sementara Israel berjuang untuk mengendalikan persepsi internasional, Perlawanan Palestina mendominasi medan informasi.
Melalui unit media militer Hamas, PIJ, dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), dunia menyaksikan rekaman penyergapan, operasi penembak jitu, dan lini produksi senjata buatan Gaza — mulai dari RPG Al-Yassin hingga peluncur roket berganda Rajoum.
Rekaman-rekaman ini menunjukkan kepada dunia bahwa Palestina bukanlah bangsa yang hancur, melainkan gerakan yang mandiri dan terorganisir, mampu melakukan koordinasi dan produksi kompleks — bahkan di bawah pengepungan.
Bagi para pendukung di seluruh dunia, tayangan ini menjadi sumber semangat dan keyakinan. Bagi rezim Zionis, tayangan-tayangan itu menghancurkan propaganda puluhan tahun yang menggambarkan rakyat Palestina sebagai lemah dan tak berdaya.
Tekad Sang Pejuang
Di jantung perang ini bersemayam semangat pantang menyerah dari para pejuang Perlawanan Palestina.
Sering kali hanya berbekal iman dan keberanian, mereka menghadapi kendaraan lapis baja dan pesawat tempur dengan sandal, pakaian olahraga, atau bahkan bertelanjang kaki.
Video-video memperlihatkan pemuda Palestina menanam bahan peledak di sisi tank, menyeru nama Tuhannya sebelum menghantamkan pukulan yang mengubah ketakutan menjadi kemenangan.
Perang ini membuktikan bahwa kekuatan material tak bisa mengalahkan kekuatan spiritual.
Seorang pemuda dengan ranjau dan keyakinan terbukti lebih kuat daripada tank senilai jutaan dolar.
Setiap aksi perlawanan menjadi pemantik spiritual, menginspirasi yang lain untuk bangkit, mengingatkan dunia bahwa keyakinan dan tekad dapat menandingi mesin perang kekaisaran.
Bahasa Dekolonisasi
Bagi komunitas internasional, kebenaran paling sulit diterima adalah bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Perlawanan Palestina bukan tanpa alasan — melainkan suatu keharusan dalam perjuangan pembebasan.
Sebagaimana Frantz Fanon menulis dalam The Wretched of the Earth:
“Dekolonisasi … jelas merupakan agenda untuk kekacauan total.”
Ia menegaskan bahwa kebebasan tidak lahir dari negosiasi sopan atau niat baik — tetapi dari konfrontasi rakyat terhadap kekerasan penindasnya.
Kekuasaan Israel atas Palestina — melalui pengusiran paksa, perampasan tanah, penahanan air, dan penghinaan sehari-hari — selalu merupakan kekerasan yang dilembagakan. Generasi demi generasi tumbuh di bawah pendudukan, dan dari kekerasan lahirlah perlawanan.
Fanon kembali menulis:
“Menghancurkan dunia kolonial berarti tidak kurang dari menghancurkan sektor kolonialis … menguburnya dalam-dalam ke dalam bumi.”
Dengan demikian, kebangkitan Perlawanan bukanlah kekacauan, melainkan reaksi yang tak terhindarkan terhadap seabad perampasan dan penjajahan.
Kebuntuan Jalan Damai
Operasi 7 Oktober adalah buah dari puluhan tahun kegagalan upaya damai — mulai dari perjanjian gencatan 1949 dan Kesepakatan Oslo, hingga Inisiatif Perdamaian Arab dan Aksi Pawai Kepulangan Besar.
Setiap kali rakyat Palestina mengulurkan tangan, Israel menjawab dengan peluru, permukiman baru, dan undang-undang apartheid.
Sebagaimana dikatakan revolusioner Palestina Ghassan Kanafani:
“Itu sama saja seperti percakapan antara pedang dan leher.”
Karenanya, 7 Oktober bukanlah awal kekerasan, melainkan titik puncak dari sebuah bangsa yang menolak mati dalam diam.
Eksistensi Sebagai Kemenangan
Tujuan akhir Israel, di balik semua retorikanya, adalah pengosongan Gaza dari penduduknya.
Tokoh-tokoh seperti Itamar Ben-Gvir dan Israel Katz secara terbuka menyerukan pengusiran massal, sementara Netanyahu menutupi niat serupa di balik istilah “migrasi sukarela.”
Namun, meski dihadapkan pada pengeboman brutal dan retorika genosida, rakyat Gaza tetap berdiri teguh — di tanah mereka, dalam iman mereka.
Dalam salah satu pernyataannya, Abu Ubaidah memberikan penghormatan kepada rakyat Gaza:
“Kami mencium kening seluruh rakyat besar kami yang teguh dan menang.”
Rakyat Palestina tidak menyerah. Mereka tidak memohon belas kasihan.
Mereka berdiri tegak, memperlihatkan kejahatan Israel kepada dunia, dan membuktikan bahwa keberadaan mereka yang terus bertahan di tanah leluhur adalah bentuk kemenangan itu sendiri — perlawanan hidup terhadap proyek penjajahan.
(FBG)
Sumber: Al-Mayadeen