Bagaimana Resolusi PBB Dimanipulasi, Kuatkan Kendali Asing dan Ubah Dinamika Kekuasaan
Rancangan AS soal Gaza memperdalam kendali asing, menyingkirkan lembaga-lembaga Arab, dan mempercepat penghancuran kedaulatan Palestina.
PBB, FAKTAGLOBAL.COM — Resolusi hari Senin, yang diadopsi berdasarkan Bab VII, menetapkan sebuah perwalian internasional yang dipimpin Amerika Serikat untuk Gaza, sehingga menangguhkan hak pemerintahan mandiri Palestina.
Rencana ini, yang dibahas dalam pembicaraan Sharm El Sheikh, mengusulkan pemerintahan sementara di bawah kendali signifikan AS dan Inggris, dengan dalih bahwa stabilitas harus didahulukan dibandingkan kedaulatan.
Para pengkritik, menilai pengaturan ini merusak tatanan alami pembentukan negara dan berisiko menciptakan protektorat asing jangka panjang.
Salah satu poin kontroversial terbesar adalah tuntutan resolusi tersebut atas perlucutan total kelompok-kelompok perlawanan Palestina, dengan melabeli Hamas dan Jihad Islam Palestina sebagai organisasi teroris. Sementara hal ini menguntungkan Israel dan negara-negara Barat, banyak orang Palestina melihatnya sebagai ajakan untuk penyerahan sepihak yang mengabaikan hak mereka untuk melawan pendudukan sebagaimana diakui oleh hukum internasional.
Bantuan Kemanusiaan sebagai Alat Tekanan Politik
Selain itu, para pengkritik mengklaim bahwa rencana rekonstruksi—yang menyalurkan bantuan internasional melalui badan yang dikendalikan AS—menggunakan situasi darurat sebagai alat untuk memaksa kepatuhan politik.
Mereka berpendapat bahwa bantuan kemanusiaan dijadikan sarana tekanan, yang bisa membuat rekonstruksi tertunda hingga tujuan perlucutan senjata dan perubahan pemerintahan terpenuhi.
Resolusi tersebut juga memperluas peran AS dan Inggris dalam keamanan serta administrasi sipil, sehingga memicu kecurigaan dari negara-negara seperti Rusia dan China, yang melihatnya sebagai taktik neokolonial untuk mengamankan pengaruh jangka panjang di kawasan.
Tidak Ada Jalan Menuju Negara Palestina dan Penguatan Ekspansionisme Israel
Yang perlu digarisbawahi, resolusi tersebut tidak menawarkan jalur jelas menuju negara Palestina yang berdaulat—yang oleh banyak pihak dianggap memperkuat agenda ekspansionis Israel.
Dengan hanya mengatur soal tata kelola Gaza tanpa menegaskan kembali solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967, resolusi ini dapat membuka jalan bagi perluasan permukiman Israel. Reaksi beragam dari negara-negara Arab menunjukkan adanya perpecahan dalam Liga Arab terkait dukungan terhadap kedaulatan Palestina.
Pada akhirnya, resolusi ini berisiko merusak kedaulatan Palestina dengan menyerahkan masa depan Gaza kepada kendali asing—yang sangat mungkin memperpanjang krisis dibanding menyelesaikannya.
Keselarasan Saudi–AS dan Kunjungan Mohammed bin Salman ke Washington
Apakah resolusi PBB mengenai Gaza—yang mendukung visi Amerika—berkaitan dengan kunjungan Mohammed bin Salman ke Washington?
Dalam kunjungan tersebut, Saudi menawarkan untuk membeli pesawat F-35 dan sistem pertahanan udara, serta memasuki pakta pertahanan bersama AS, karena kekhawatiran akan terulangnya skenario Qatar; seakan-akan skenario Qatar dirancang dengan menggunakan “momok Zionis” untuk menguras negara-negara PGCC, sekaligus melindungi program nuklir damai Saudi.
‘Skenario Qatar’, Kerentanan Teluk, dan Perhitungan Strategis Riyadh
Arab Saudi saat ini fokus membangun perjanjian pertahanan timbal balik secara formal dan mendapatkan sistem persenjataan canggih AS, termasuk F-35 dan sistem pertahanan udara.
Dorongan ini dipicu oleh sebuah peristiwa hipotetis pada September 2025 ketika serangan sepihak Israel ke Qatar menunjukkan betapa rentannya negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) meski kaya, memperlihatkan kegagalan sistem pertahanan mereka.
Insiden 2025 itu dipandang sebagai demonstrasi kekuatan strategis untuk melemahkan PGCC dengan menciptakan ancaman konstan. Kondisi tersebut memaksa negara-negara PGCC meningkatkan belanja pertahanan dan mencari jaminan keamanan eksternal, yang mengalihkan sumber daya ekonomi besar dari proyek pembangunan penting.
Tujuan utama Saudi adalah mencegah ancaman serupa di wilayahnya. Kerajaan ingin mendapatkan jaminan keamanan kuat dari AS agar setiap serangan terhadap infrastruktur mereka dianggap sama seriusnya seperti serangan terhadap kepentingan AS.
Pengaturan ini juga berkaitan dengan perlindungan program nuklir damai Saudi yang penting bagi Visi 2030. Riyadh khawatir fasilitas nuklirnya dapat diserang atas nama non-proliferasi, sehingga perjanjian pertahanan dengan AS dianggap sebagai perlindungan utama.
Selain itu, dengan memberikan dukungan terbatas terhadap rencana AS mengenai Gaza, Saudi membantu Washington mendapatkan pengaruh diplomatik tambahan untuk meloloskan pendanaan dan perjanjian pertahanan melalui Kongres. Ini menandai perubahan dalam kebijakan luar negeri Saudi, yang semakin aktif menggunakan pengaruhnya untuk memperoleh jaminan keamanan.
Kegagalan OKI dan Liga Arab di Tengah Krisis Gaza
Di mana sebenarnya peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Liga Arab dalam apa yang terjadi di Gaza?
OKI dan Liga Arab dikritik karena gagal mengambil tindakan efektif. Mereka hanya mengeluarkan pernyataan kecaman tanpa menyusun rencana terpadu, yang merusak kredibilitas mereka.
Kedua organisasi ini juga menghindari pembahasan siapa yang akan mengelola Gaza, menunjukkan adanya perpecahan internal dan kegagalan memimpin diplomasi. Sikap pasif ini memberi ruang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan dunia Arab atau Islam.
Selain itu, OKI dan Liga Arab juga tidak menentang normalisasi hubungan dengan Israel, terutama melalui Kesepakatan Abraham. Banyak pihak melihat normalisasi tersebut sebagai bentuk pengkhianatan yang merusak hak-hak Palestina.
Kontradiksi semakin terlihat dalam sektor ekonomi: negara-negara anggota OKI seperti Kazakhstan dan Azerbaijan adalah pemasok utama minyak bagi Israel. Dukungan finansial ini secara langsung menopang operasi militer Israel, menciptakan konflik moral dan politik serius. Keengganan OKI untuk menegur negara-negara tersebut memperlihatkan kelemahan struktural organisasi.
Situasi ini juga menimbulkan keraguan mengenai loyalitas negara-negara tersebut dalam aliansi global seperti BRICS dan SCO, yang seharusnya menjadi penyeimbang dominasi Barat.
Bahkan Turki, yang kerap vokal membela Palestina, tetap mempertahankan hubungan dagang besar dengan Israel meski secara retorik mengkritiknya. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan nasional lebih dominan dibanding solidaritas Islam, menjadikan OKI dan Liga Arab sekadar platform retorika, bukan tindakan nyata.
Keberlanjutan Pengawasan Internasional dan Beban Ekonomi bagi Pendukung Israel
Bisakah keberadaan pasukan penjaga perdamaian atau administrasi internasional di Gaza dipertahankan dalam jangka panjang?
Biaya ekonomi agresi Israel semakin tidak mungkin ditanggung oleh pendukung Baratnya. Kampanye Gaza sangat mahal, menghabiskan sumber daya besar tanpa mencapai tujuan strategis yang dinyatakan—membongkar Hamas atau melucuti perlawanan—sehingga mempertanyakan imbal balik dari investasi finansial besar yang membebani perekonomian negara-negara sekutu.
Tekanan fiskal paling terasa di Amerika Serikat, pendukung utama Israel. Dengan utang publik yang melebihi 120% dari PDB, kelanjutan bantuan militer dalam jumlah besar kepada Israel, sementara juga mendanai perang di Ukraina, menciptakan tantangan makroekonomi serius. Ini memperburuk defisit anggaran negara yang sudah tidak berkelanjutan.
Posisi Eropa pun semakin terbatas menghadapi beban ekonomi tersebut.
By Dr. Ahmed Moustafa


