Cendekiawan Filipina: Gaza Bongkar Kemunafikan Barat, Ubah AS jadi Medan Tempur Israel
Pemikir Islam terkemuka Asia Tenggara menyatakan Palestina telah meruntuhkan mitos “benturan peradaban” dan memicu bangkitnya kesadaran politik Islam dan keadilan di jantung Barat
Filipina | FAKTAGLOBAL.COM — Seorang cendekiawan Islam terkemuka dari Asia Tenggara menyatakan bahwa genosida Israel yang terus berlangsung di Gaza telah secara fundamental membalikkan narasi lama Barat tentang Islam, kebebasan, dan hak asasi manusia, sekaligus membongkar kemunafikan mendalam dalam klaim superioritas moral yang dipimpin Amerika Serikat dan Israel—seraya mempercepat kebangkitan gerakan politik Muslim dan berorientasi keadilan di dalam Barat itu sendiri.
Dalam wawancara eksklusif di sela-sela Konferensi Internasional “Hak-Hak Bangsa dan Kebebasan yang Sah dalam Sistem Intelektual Ayatollah Sayyed Ali Khamenei”, Prof. Julkipli M. Wadi, Dekan Institut Studi Islam Universitas Filipina Diliman, menggambarkan momen global saat ini sebagai “tanpa preseden” dalam skala pelanggaran HAM—yang paling nyata terwujud di Gaza.
Konferensi tersebut digelar pada 30 November 2025 di Guardian Council Research Institute, Teheran.
Konferensi Tepat Waktu di Tengah Runtuhnya HAM Global
Prof. Wadi menilai konferensi di Teheran sebagai “sangat mendesak dan tepat waktu”, menegaskan bahwa dunia tengah menyaksikan runtuhnya martabat manusia, keadilan, dan kebebasan di berbagai kawasan.
Ia menyebut warisan intelektual Imam Khomeini dan Ayatollah Sayyed Ali Khamenei—khususnya penekanan pada martabat manusia, keadilan sosial, dan penentuan nasib sendiri—kian relevan saat ini dibandingkan masa mana pun sebelumnya.
“Fase sejarah ini tidak tertandingi,” ujar Wadi. “Ia menuntut telaah serius tentang mengapa dunia sampai pada titik ini, serta desakan kuat untuk mengangkat suara pembelaan HAM dan kebebasan lintas agama dan kawasan.”
Ia menambahkan bahwa konferensi ini menjadi platform langka bagi para cendekiawan dan pegiat HAM dari seluruh dunia untuk menantang kerangka Barat dominan yang gagal mencegah kekejaman massal.
Islam dan HAM: Klaim Barat Tertolak
Menanggapi tudingan Barat yang berulang bahwa Islam dan negara-negara seperti Iran tidak sejalan dengan kebebasan, Prof. Wadi menolak tegas narasi tersebut sebagai keliru secara historis dan faktual.
Ia mengutip Piagam Madinah, yang disusun Nabi Muhammad lebih dari 1.400 tahun lalu, sebagai salah satu piagam paling awal yang mengakui pluralisme, koeksistensi, dan hak-hak minoritas agama.
“Ini ada jauh sebelum Piagam PBB,” katanya. “Mengklaim Islam anti-HAM adalah ketidakjujuran intelektual.”
Wadi juga menunjuk keberadaan komunitas Yahudi dan Kristen yang hidup di Iran—sinagoga, gereja, serta perwakilan di parlemen—sebagai bukti nyata pluralisme Islam, yang menurutnya berbanding terbalik dengan sistem etnokratis Israel dan kebijakan eksklusif yang didukung Barat.
Ia menegaskan tidak ada preseden dalam sejarah Muslim yang menyamai skala pembantaian massal berteknologi tinggi yang kini dilancarkan terhadap Gaza.
Gaza Meruntuhkan Mitos “Benturan Peradaban”
Prof. Wadi mengatakan genosida Israel di Gaza telah menghancurkan secara menentukan teori “benturan peradaban” yang lama dipromosikan, dan menelanjangi mitos tersebut sebagai konstruksi politik untuk mendemonisasi Islam.
“Islam bukan sumber barbarisme sistematis,” ujarnya. “Apa yang kita saksikan di Gaza—kekerasan skala industri terhadap perempuan dan anak-anak—tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Muslim.”
Ia menilai benturan sejati hari ini adalah antara kemanusiaan dan kekerasan kolonial, dengan Israel di pusatnya dan Amerika Serikat sebagai pendukung utama.
Medan Pertempuran Nyata Kini di Dalam Amerika Serikat
Dalam salah satu pengamatan paling tajam, Prof. Wadi menyebut Gaza telah memicu reaksi balik politik tak terduga di AS dan Eropa, menjadikan ibu kota-ibu kota Barat—bukan Palestina semata—sebagai arena konfrontasi utama terhadap kebijakan Israel.
“Dulu kita mengira pertempuran harus dilakukan di tanah Israel,” katanya. “Namun medan pertempuran yang sesungguhnya kini berada di Amerika Serikat.”
Ia mencatat meningkatnya kritik terhadap Israel bahkan di kalangan konstituen Barat tradisional, termasuk segmen masyarakat AS yang sebelumnya selaras dengan politik pro-Israel.
Pada saat yang sama, ia menyoroti bangkitnya wali kota, legislator, dan pemimpin progresif Muslim di berbagai kota Amerika dan Eropa—banyak di antaranya mantan imigran yang dibentuk oleh pengalaman ketidakadilan.
Munculnya Dar al-Islam Baru di Barat
Prof. Wadi menggambarkan fenomena ini sebagai pembalikan historis: kekerasan Israel, alih-alih memadamkan perlawanan, justru mempercepat pertumbuhan komunitas Muslim dan kesadaran politik Islam di jantung Barat.
“Semakin banyak bom dijatuhkan ke Gaza, semakin kuat komunitas Muslim bangkit di Amerika dan Eropa,” ujarnya. “Kita menyaksikan kemunculan Dar al-Islam baru di Barat.”
Ia membingkai perkembangan ini bukan sebagai benturan, melainkan “relasi aljabar baru”—di mana penindasan melahirkan pembalikan politik dan moralnya sendiri.
Menuju Persatuan Kreatif dan Masa Depan Pasca-Hegemoni
Sambil mengakui tantangan dunia Muslim, Prof. Wadi menolak seruan persatuan yang kaku atau artifisial. Ia mendorong “persatuan kreatif”—model yang berakar pada nilai bersama, saling pengakuan, dan pluralisme Qur’ani.
Ia menyatakan optimisme bahwa aliansi kemanusiaan lintas iman tengah terbentuk sebagai respons terhadap Gaza, menantang standar ganda Barat dan impunitas Israel.
“Dunia Muslim tradisional mungkin gagal dalam beberapa hal,” katanya, “namun kesadaran baru sedang tumbuh—perlahan, tetapi tak terbantahkan.”
Gaza sebagai Titik Balik Sejarah Global
Prof. Wadi menutup dengan menegaskan bahwa Gaza akan dikenang sebagai titik balik sejarah—bukan hanya bagi Palestina, tetapi bagi kesadaran politik global.
Genosida Israel, yang didukung dan dilindungi Amerika Serikat, tidak membungkam perlawanan. Sebaliknya, ia menyingkap kebangkrutan moral struktur kekuasaan Barat dan menyalakan gerakan baru untuk keadilan, martabat, dan penentuan nasib sendiri—jauh melampaui Timur Tengah.
Seperti kata Prof. Wadi, “Di belahan dunia lain, harapan baru sedang bangkit.” (FG)


