Citra Satelit Konfirmasi Kehancuran Brutal dan Pembantaian Massal di El Fasher, Sudan
Laporan saksi mata, citra satelit, dan video di lapangan menunjukkan eksekusi sistematis, pembantaian di rumah sakit, dan kemungkinan genosida saat RSF mengonsolidasikan kekuasaan.
Sudan, FAKTAGLOBAL.COM — Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) telah mengambil alih kota El Fasher di Sudan, menandai salah satu babak paling kelam dalam perang saudara negara tersebut.
Kejatuhan kota ini terjadi setelah pengepungan selama 18 bulan yang menghalangi ratusan ribu warga sipil dari akses makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan.
Menurut kesaksian saksi mata dan analisis satelit yang dikutip oleh The Financial Times, serangan tersebut memicu pembantaian massal, termasuk pembunuhan sekitar 460 pasien dan keluarga mereka di Rumah Sakit Bersalin Saudi di El Fasher.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengecam pembunuhan tersebut, menyamakannya dengan “hari-hari paling gelap” genosida Darfur dua dekade lalu.




Bukti Satelit dan Video RSF Mengungkap Eksekusi
Citra satelit beresolusi tinggi yang ditinjau oleh Yale Humanitarian Research Lab mengidentifikasi kelompok-kelompok yang tampak sebagai jenazah manusia di dalam kompleks rumah sakit, dengan noda merah yang mengindikasikan darah.
Rekaman terpisah yang diunggah oleh para pejuang dan komandan RSF memberikan bukti tambahan kekejaman.
Dalam salah satu video, komandan RSF Al-Fatih Abdallah Idris (Abu Lulu) terlihat mengeksekusi warga sipil yang ditangkap. Para pegiat hak asasi sebelumnya telah mengaitkannya dengan pembantaian brutal di Darfur.
Para analis memperingatkan bahwa rekaman RSF sendiri dapat menjadi bukti langsung kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Rumah Sakit Menjadi Lokasi Pembantaian
Jaringan Dokter Sudan menuduh pasukan RSF mengubah fasilitas kesehatan menjadi “rumah jagal manusia.”
“Mereka membunuh dengan darah dingin semua orang yang mereka temukan di dalam rumah sakit Saudi — pasien, pendamping mereka, dan siapa pun yang berada di bangsal,” kata seorang juru bicara kepada The Financial Times.
Pasukan RSF juga merebut bandara dan pangkalan militer El Fasher, menghapus titik pertahanan terakhir Angkatan Bersenjata Sudan di Darfur.
El Fasher sebelumnya menjadi tempat perlindungan terakhir bagi banyak warga kulit hitam Afrika di wilayah tersebut — komunitas yang secara historis menjadi target milisi RSF dan pendahulunya, Janjaweed.
Bencana Kemanusiaan Semakin Parah
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut Sudan sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan lebih dari 14 juta orang mengungsi dan sedikitnya 150.000 tewas sejak konflik pecah pada 2023.
Lebih dari 30.000 warga sipil melarikan diri dari El Fasher dalam beberapa hari terakhir, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
UNICEF memperingatkan bahwa 130.000 anak masih terjebak “dalam risiko besar, terperangkap oleh penembakan dan pertempuran, dengan laporan penculikan, pembunuhan, mutilasi, dan kekerasan seksual.”
Tekanan Internasional untuk Akuntabilitas Meningkat
Pemimpin RSF Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) mengakui adanya “pelanggaran” di El Fasher dan mengumumkan pembentukan komite penyelidikan, serta menyerukan pembebasan warga sipil yang “ditahan secara tidak sah.”
Namun, meningkatnya korban sipil dan bukti visual yang beredar telah memicu seruan kuat untuk akses independen dan investigasi kejahatan perang.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperingatkan bahwa apa yang terjadi di El Fasher dapat menjadi salah satu kekejaman paling parah dalam perang Sudan, dan merupakan kelanjutan pola genosida yang lama dikaitkan dengan pasukan RSF.
(FG)


