Drama Permintaan Maaf Netanyahu Ungkap Arogansi dan Isolasi AS–Israel
Permintaan maaf langka Netanyahu atas serangan Doha menyingkap keterlibatan Washington, kecerobohan Tel Aviv, dan semakin dalamnya reaksi regional.
AS, FAKTABERITAGLOBAL.COM – Permintaan maaf langka Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Qatar atas serangan mematikan di Doha telah memicu kemarahan keras di dalam negeri, menyingkap sifat ceroboh agresi Tel Aviv, dan menegaskan keterlibatan Washington dalam melindungi kejahatan Israel sembari menuntut kepatuhan Arab.
Sebuah Permintaan Maaf yang Memalukan
Dalam pertemuannya dengan Presiden AS Donald Trump pada Senin, Netanyahu menyampaikan “penyesalan mendalam” atas serangan rudal 9 September yang melanggar kedaulatan Qatar dan menewaskan seorang prajurit Qatar.
Gedung Putih menegaskan bahwa Netanyahu berjanji “Israel” tidak akan mengulangi serangan semacam itu. Doha dilaporkan mensyaratkan partisipasinya dalam negosiasi tidak langsung yang diperbarui dengan Hamas pada adanya permintaan maaf resmi Israel.
Insiden itu — upaya Israel untuk membunuh para pemimpin Hamas di Qatar — justru menewaskan pejabat tingkat bawah dan seorang perwira Qatar, memicu kemarahan di seluruh dunia Arab.
Alih-alih memperkuat deterensi Israel, kegagalan ini semakin mengisolasi Tel Aviv dan menyingkap kesediaan Washington menutup-nutupi tindakan terorisme negara yang terang-terangan terhadap sebuah negara Arab berdaulat.
Kemarahan di Knesset
Permintaan maaf tersebut memicu kecaman di seluruh spektrum politik Israel.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengecam “kerendahan hati yang memalukan” Netanyahu di hadapan sebuah negara yang ia sebut pendukung “terorisme.”
Sementara itu, Yair Golan dari Partai Demokrat Israel mengecam Netanyahu karena merendahkan dirinya di hadapan perdana menteri Qatar, bukannya meminta maaf kepada warga Israel atas peristiwa 7 Oktober.
Jurnalis Israel Ben Caspit mengejek Netanyahu sebagai tukang minta maaf berulang kali:
Kepada Raja Hussein setelah upaya pembunuhan Khaled Mashaal di Amman gagal.
Kepada Erdogan setelah pembantaian Mavi Marmara.
Kini kepada Qatar setelah serangan Doha.
“Yang tersisa hanyalah,” sindir Caspit, “dia meminta maaf kepada rakyat dan meninggalkan kami sendiri.”
Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir secara terbuka memuji serangan Doha, menyebutnya “penting, adil, dan tak tertandingi secara moral.”
Pernyataannya menyingkap wajah sejati elit penguasa Israel: bahkan ketika dipaksa meminta maaf di luar negeri, mereka tetap membanggakan kejahatannya terhadap warga sipil.
Keterlibatan AS dan Kecaman Arab
Gedung Putih menggambarkan permintaan maaf Netanyahu sebagai bagian dari upaya Trump untuk mendorong “kesepakatan komprehensif” mengenai Gaza, tetapi peran Washington jelas: berusaha menetralkan kemarahan Arab dengan mengorbankan martabat Qatar sekaligus memastikan impunitas Israel tetap terjaga.
“Dengan menyebut pembunuhan seorang perwira Qatar sebagai ‘tidak disengaja,’ Amerika Serikat justru membenarkan apa yang sesungguhnya merupakan pelanggaran kedaulatan yang disengaja — bab terbaru dalam rekam jejak panjang agresi Amerika–Israel terhadap dunia Arab.”
Krisis Legitimasi
Permintaan maaf Netanyahu tidak menyembuhkan luka diplomatik; sebaliknya, memperdalamnya.
Bagi publik Arab, serangan Doha menegaskan bahwa baik Israel maupun sponsor utamanya, AS, tidak menghormati kedaulatan tetangga mereka. Bagi warga Israel, permintaan maaf itu dipandang sebagai kelemahan.
Yang tak terbantahkan adalah bahwa AS dan Israel, meski berbicara soal “keamanan” dan “stabilitas,” tetap bertindak sebagai pelanggar hukum internasional berantai — arogansi mereka kini memaksa mereka menelan pil pahit dalam bentuk penarikan diri yang memalukan, bahkan di hadapan negara-negara yang dulu mereka remehkan. (FBG)