Label “Milisi”: Propaganda Media Barat untuk Delegitimasi Hashd al-Shaabi
Framing ini membawa konsekuensi besar. Ini membentuk opini publik di luar negeri, demi dukungan bagi intervensi berkelanjutan AS dengan menggambarkan seolah Irak tak mampu kelola keamanannya sendiri
Irak, FAKTABERITAGLOBAL.COM – Pergulatan di Irak tidak hanya bersifat militer atau politik, tetapi juga wacana. Bahasa sejak lama digunakan sebagai senjata perang, membentuk persepsi, mengonstruksi realitas, dan melegitimasi narasi tertentu di atas narasi lainnya.
Selama beberapa dekade, media Barat secara konsisten melabeli kelompok bersenjata Irak sebagai “milisi,” sering kali disertai dengan sebutan “didukung Iran.”
Framing ini menciptakan citra delegitimasi, menggambarkan Irak sebagai negara yang rapuh dan membutuhkan intervensi asing. Sementara itu, kelompok bersenjata yang sejalan dengan kepentingan Barat digambarkan dengan label yang lebih netral atau positif, seperti “pasukan” atau “aparat keamanan.”
Menghapus Pengorbanan Lewat Terminologi
Dengan mereduksi Pasukan Mobilisasi Populer (PMF/Hashd al-Shaabi) ke dalam label “milisi,” media Barat secara sengaja menghapus sejarah pengorbanan yang telah dibuat oleh para anggotanya.
Penyederhanaan ini meratakan realitas sosial, politik, dan sejarah Irak menjadi narasi menyesatkan tentang kekacauan dan ketergantungan pada asing.
Kata “milisi” dalam bahasa Inggris memiliki konotasi kuat tentang ketidakabsahan, kekacauan, dan ketertiban yang rusak. Saat digunakan secara selektif, istilah ini mendelegitimasi perlawanan lokal sekaligus melegitimasi aktor bersenjata asing.
Ambil contoh perusahaan militer swasta AS dan Inggris seperti Blackwater, yang kontraktornya bertanggung jawab atas kekejaman, termasuk pembantaian Nisour Square 2007 yang menewaskan 17 warga sipil. Media Barat sering menggambarkan kejahatan itu sebagai sekedar kesalahan “segelintir individu,” bukan sebagai cerminan institusi atau negara yang memberi mandat.
Sebaliknya, PMF—yang berperan penting dalam membela Irak dari ISIS—digambarkan sebagai “tidak sah,” meskipun mereka telah diintegrasikan ke dalam aparat keamanan negara.
Status Hukum PMF vs. Delegitimasi Barat
Hashd al-Shaabi lahir pada 2014 setelah fatwa bersejarah dari otoritas agama tertinggi Irak, Marja’ Agung Ayatollah Sayyed Ali al-Sistani, yang menyerukan rakyat Irak untuk membela negara setelah Mosul jatuh ke tangan ISIS.
Pada 2016, PMF secara resmi diintegrasikan ke dalam aparat keamanan negara, menjadikan mereka kekuatan negara yang sah.
Namun, pemberitaan Barat sering kali mereduksi mereka menjadi “milisi dukungan Iran” atau “militan Syiah,” mengabaikan status hukum dan komposisi luas mereka yang mencakup faksi Sunni, Syiah, dan Kristen.
Dalam pertempuran Mosul tahun 2016, misalnya, media Barat seperti BBC dan Time Magazine menggambarkan para pejuang Irak sebagai “milisi Syiah,” tanpa menyebut PMF secara jelas. Narasi ini dibuat untuk menghapus peran mereka sebagai komponen kunci pertahanan nasional Irak.
Peliputan Selektif dan Bias Politik
Distorsi paling nyata terlihat dalam cara pencapaian operasional diberitakan. Ketika PMF membebaskan wilayah dari ISIS, tajuk berita jarang mengakui prestasi mereka. Sebaliknya, liputan lebih banyak menyoroti kontroversi politik atau dugaan pengaruh asing.
Dalam pembebasan Tikrit tahun 2015, misalnya, kekalahan ISIS lebih banyak dikreditkan oleh media Barat kepada serangan udara koalisi pimpinan AS, sementara peran utama PMF di garis depan diminimalisasi.
Hal serupa terjadi di Baghdad, di mana unit PMF dikerahkan untuk mengamankan ibu kota saat ISIS mencoba menyusup.
Alih-alih mengakui peran mereka dalam menstabilkan kota, media menggambarkan operasi ini sebagai “sektarian” atau “chaotic,” meski faktanya berhasil mencegah keruntuhan keamanan.
Pola ini disengaja dalam upaya untuk meyakinkan publik bahwa kemenangan bergantung pada intervensi Barat, sementara pengorbanan pejuang Irak terpinggirkan atau diputarbalikkan.
Permainan dalam Penggunaan kata “Milisi”
Pilihan kata ini bukanlah kebetulan atau netral. Dalam narasi Barat, pasukan AS di Irak digambarkan sebagai “pembawa damai” atau “penjaga keamanan,” sementara pejuang perlawanan Irak dicap “militan” atau “milisi.”
Framing semacam ini bukan sekadar soal bahasa; ia memiliki konsekuensi nyata. Ia membentuk opini publik internasional, menciptakan dukungan bagi intervensi AS yang berkelanjutan, dengan menampilkan Baghdad seolah tidak mampu mengendalikan aparat keamanannya sendiri.
Dengan demikian, label “milisi” menjadi alat perang lainnya—sebuah senjata linguistik strategis yang digunakan untuk mendelegitimasi Hashd al-Shaabi dan membenarkan kendali eksternal atas Irak.
Bahasa sebagai Arena Perang
Memahami politik bahasa adalah kunci untuk memahami sejarah modern Irak. PMF, yang lahir dari seruan rakyat untuk mempertahankan Irak dari ISIS, diakui secara hukum sebagai bagian negara, dan didukung oleh beragam komunitas, jelas jauh lebih besar dari sekadar label “milisi” yang ditempelkan pada mereka.
Terminologi selektif media Barat tidak hanya mendistorsi realitas, tetapi juga menjadi alat intervensi.
Menyadari bahwa bahasa adalah bagian dari medan pertempuran adalah kunci untuk melawan misrepresentasi dan mengembalikan narasi yang benar tentang perjuangan Irak demi kedaulatan dan keamanan. (FBG)


