Media Ibrani: Israel Menari di Tepi Jurang Kehancuran
Fragmentasi internal, krisis hukum Netanyahu, dan keretakan sosial yang kian dalam mendorong entitas Zionis menuju keruntuhan sistemik
Palestina | FAKTAGLOBAL.COM — Sebuah media berbahasa Ibrani memperingatkan bahwa Israel kini berada sangat dekat dengan jurang kehancuran, menggambarkan situasi yang ada sebagai upaya putus asa untuk lari dari nasib yang tak terelakkan.
Dalam sebuah analisis tajam yang diterbitkan Yisrael Hayom, analis Zionis Nashima Ducker menyebut entitas tersebut sedang “menari di tepi jurang,” kewalahan oleh akumulasi ancaman internal yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir.
Menurut laporan itu, tanpa perubahan mendasar dalam wacana politik dan sosial Israel, akan sangat sulit memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dalam pemilu mendatang.
Meningkatnya Ancaman Internal dan Pembusukan Politik
Analis tersebut mencatat bahwa dalam beberapa pekan terakhir terjadi lonjakan signifikan ancaman, terutama yang bersumber dari perpecahan internal Israel, bukan dari konfrontasi eksternal.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang tampak gelisah selama pemeriksaan di pengadilan, dilaporkan menunjukkan gejala lupa dan kontradiksi berulang. Dalam langkah yang mengejutkan bahkan bagi sekutunya sendiri, Netanyahu secara resmi mengajukan permohonan grasi presiden kepada Presiden Israel Isaac Herzog.
Perkembangan ini memunculkan pertanyaan serius di kalangan elite politik Zionis: Apakah permohonan grasi itu sekadar manuver politik terhitung untuk mengamankan dukungan Herzog dalam pemilu mendatang? Ataukah cerminan ketakutan Netanyahu terhadap keruntuhan hukum dan politik yang kian dekat?
Analis tersebut menyatakan jawabannya kemungkinan segera terungkap, terlebih di tengah laporan adanya ancaman untuk membocorkan materi yang memberatkan Herzog jika grasi benar-benar diberikan.
Netanyahu dan Politik Ancaman serta Kekacauan
Hal yang paling mengkhawatirkan, menurut laporan itu, adalah pesan implisit Netanyahu sendiri. Melalui permohonan grasi dan video yang menyertainya, Netanyahu secara efektif mengancam masyarakat Israel bahwa kekacauan akan terus berlanjut jika ia tidak memperoleh pengampunan.
Analisis tersebut menyebut Netanyahu telah memberi sinyal bahwa tanpa “kerja samanya,” perpecahan internal akan semakin dalam—sebuah pendekatan yang pada dasarnya merupakan pemerasan politik terhadap publik dan institusi Israel.
Saat ditanya mengenai pernyataan-pernyataan itu, Netanyahu dilaporkan tidak berupaya meredakan ketegangan. Sebaliknya, setelah menyadari bahwa ia memegang pedang bermata dua, ia menegaskan tidak akan mundur dari posisi-posisi sebelumnya, apa pun konsekuensinya.
Dari 7 Oktober ke Krisis Internal Baru
Penulis berpendapat bahwa meskipun Israel berhasil melewati guncangan awal 7 Oktober, kini entitas itu kembali terjerumus ke fase bahaya internal yang akut. Kondisi saat ini, menurut laporan tersebut, menyerupai—bahkan mungkin melampaui—suasana krisis 6 Oktober 2023.
Proses peradilan Netanyahu yang terus berjalan memperparah situasi, beriringan dengan upaya kabinetnya mendorong sejumlah undang-undang paling kontroversial dan memecah-belah dalam sejarah terbaru. Langkah-langkah ini, tegas analis, mempercepat polarisasi dan menggerus sisa-sisa kohesi kelembagaan.
Tak Mampu Bertahan dalam Ancaman Permanen
Dalam kesimpulannya, analis tersebut menyatakan secara gamblang bahwa Israel tidak dapat terus hidup dalam kondisi ancaman permanen, baik dari dalam maupun dari luar. Arah yang ditempuh saat ini, ujarnya, mengarah pada ketidakstabilan berkepanjangan dan potensi kegagalan sistemik.
Artikel itu ditutup dengan seruan agar Israel memiliki seorang perdana menteri yang mewakili seluruh warga Israel—sebuah pengakuan implisit bahwa Netanyahu telah menjadi faktor utama perpecahan, bukan persatuan.
Peringatan internal dari media Zionis ini muncul ketika Israel masih terlibat dalam agresi regional yang didukung Amerika Serikat, yang turut memicu destabilisasi berkelanjutan di Asia Barat, sementara entitas Zionis itu sendiri semakin tergerogoti oleh pembusukan internal.
Pesan yang muncul dari media Ibrani sangat jelas: kehancuran bukan lagi skenario yang jauh, melainkan realitas yang kian mendekat—dan tak ada tingkat perlindungan politik AS atau normalisasi diplomatik yang mampu menyembunyikannya tanpa batas waktu. (FG)


