Menilik Dimensi Respons Cerdas Perlawanan terhadap Rencana Trump: Bagaimana Hamas Patahkan Pengepungan Politik
Tanggapan Hamas yang bertanggung jawab sekaligus cerdas terhadap rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza telah membingungkan banyak pengamat, termasuk pihak Zionis.
Palestina, FAKTABERITAGLOBAL.COM – Hamas, dengan menyusun sebuah respons yang tidak menerima rencana Trump dalam bentuknya yang sekarang namun juga tidak menolaknya secara mutlak—dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar rakyat Palestina—berhasil mematahkan pengepungan politik besar yang dikenakan terhadap perlawanan dan menciptakan ruang gerak baru untuk bermanuver.
Menurut Kantor Berita Tasnim, tanggapan Hamas yang bertanggung jawab namun cerdas terhadap rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang di Gaza telah membingungkan banyak pengamat, termasuk pihak Zionis.
Sementara tanggapan tersebut menolak sebagian besar ketentuan dari rencana Trump, ia dirancang sedemikian rupa sehingga menghapus bayang-bayang tuduhan bahwa Hamas menghalangi proses negosiasi. Namun bagaimana tanggapan ini disusun?
Bagaimana Hamas Menyusun Respons Strategisnya
Ketika Trump dan Netanyahu bersama-sama mengumumkan apa yang pada dasarnya merupakan “rencana Israel” dalam konferensi pers di Washington—sebuah rencana yang sama dengan hukuman mati bagi Gaza—keputusasaan menyelimuti hati rakyat Palestina dan para pendukung mereka.
Netanyahu bahkan merilis video-video perayaan, mengklaim kemenangan. Kegembiraannya yang berlumur kejahatan perang membangkitkan kemarahan di kalangan orang-orang merdeka di seluruh dunia. Sementara itu, Trump mengancam bahwa jika Hamas tidak menerima rencananya, ia akan melepaskan “neraka besar.”
Di tengah ancaman dan meningkatnya agresi ini, ketika para pejabat Turki, Mesir, dan Qatar mengadakan pembicaraan keamanan tingkat tinggi di Doha, Hamas memulai konsultasi internal yang intens dengan faksi-faksi perlawanan Palestina lainnya.
Diskusi ini berfokus pada cara-cara untuk memecahkan blokade politik dan diplomatik, menciptakan ruang gerak, atau setidaknya membeli waktu.
Perlu dicatat bahwa ini bukanlah pertama kalinya Hamas menghadapi tekanan semacam itu. Selama dua tahun perang Gaza, tekanan internasional dan regional terus-menerus diarahkan terhadap gerakan ini. Namun, di tengah serangan militer Israel yang didukung AS terhadap warga sipil, situasi menjadi semakin genting.
Dengan memanfaatkan pengalaman politiknya, Hamas merancang pendekatan yang cerdas: gerakan ini tidak sepenuhnya menolak proposal Trump, namun juga tidak menerimanya begitu saja.
Hamas memahami bahwa rencana Trump bertujuan untuk mengisolasi dan mengkriminalisasi perlawanan Palestina di tingkat global.
Karena itu, Hamas menyusun tanggapan yang dirancang dengan cermat untuk mendapatkan waktu dan fleksibilitas, sekaligus mempertahankan prinsip-prinsip dasarnya.
Perubahan Taktis dalam Isu Pertukaran Tahanan
Hamas menyadari bahwa isu mengenai tentara Zionis yang ditawan telah berubah dari kartu tekanan menjadi beban taktis.
Keberadaan mereka di Gaza tidak menghentikan pemboman atau kekejaman Israel, karena Netanyahu terus melanjutkan ofensif militernya tanpa henti. Hal ini berarti kepemimpinan Israel pada dasarnya telah mengabaikan para tawanan mereka sendiri, hanya menggunakan mereka sebagai alasan untuk melanjutkan agresi.
Oleh karena itu, Hamas menyimpulkan bahwa menahan para tawanan tidak lagi memberikan keuntungan strategis—bahkan mungkin menjadi liabilitas.
Akibatnya, Hamas menyetujui klausul dalam rencana Trump terkait pembebasan tawanan Israel, namun dengan perbedaan penting: Hamas menolak tuntutan lainnya dan menegaskan bahwa isu-isu lanjutan harus dinegosiasikan.
Setelah melalui pertimbangan tersebut, Hamas menyusun sebuah pernyataan yang sangat tepat—bahkan disesuaikan untuk menarik ego Trump.
Diplomasi Regional dan Reaksi Global
Tak lama kemudian, para menteri luar negeri mulai saling menghubungi. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan dan kepala intelijen Ibrahim Kalin berbicara dengan utusan khusus Trump, Steve Witkoff, untuk memberi penjelasan mengenai pernyataan Hamas.
Mereka sepakat bahwa tanggapan Hamas menghadirkan peluang berharga untuk mengakhiri perang.
Kemudian datang bagian yang paling sulit—meyakinkan Trump sambil melewati pengaruh lobi Israel di Gedung Putih, Pentagon, dan Departemen Luar Negeri.
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menelepon Trump, menegaskan bahwa hasil tersebut merupakan capaian terbaik yang mungkin dicapai. Keesokan harinya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan juga menelepon Trump, mendukung hasil pembicaraan Doha sebagai jalur paling rasional untuk maju.
Akhirnya Trump menyadari bahwa keberhasilan membebaskan tawanan Israel bisa menjadi pencapaian politik besar baginya. Ia bereaksi positif terhadap tanggapan Hamas.
Pernyataan resmi Hamas kemudian dipublikasikan dan, secara tak terduga, mendapat sambutan luas dari komunitas internasional. Netanyahu, yang mengira Trump akan menolaknya, terkejut ketika Trump secara terbuka mengumumkan di media sosial bahwa “Hamas siap untuk perdamaian abadi” dan bahwa Israel “harus segera menghentikan pemboman.”
Gedung Putih kemudian mengungkapkan bahwa Trump akan menyampaikan pidato video, dan sebuah gambar memperlihatkan dirinya sedang merekam pidato tersebut dirilis. Meskipun siarannya tertunda—di tengah spekulasi adanya perselisihan internal—Trump akhirnya mengeluarkan klip singkat yang menegaskan kembali dukungannya terhadap tanggapan Hamas setelah mendapat tekanan dari Witkoff.
Hamas secara efektif telah mematahkan blokade politik dan membeli waktu berharga, meninggalkan Israel dalam posisi yang tidak nyaman.
Amerika Serikat Terpaksa Mengakui Hamas
Dalam perkembangan luar biasa, baik Trump maupun wakil presidennya memposting pernyataan penuh Hamas di akun pribadi mereka.
Hal ini mengejutkan kalangan politik AS dan Israel—karena gerakan yang selama ini dicap sebagai “teroris” kini diperlakukan sebagai entitas resmi.
Kemarahan Zionis dan Serangan Media
Media Israel meledak dengan kemarahan, menuduh Trump “menjual Israel demi Hadiah Nobel Perdamaian.” Para pengamat mencatat bahwa Trump telah mencapai tujuannya—membebaskan para tawanan Israel dan meraih kemenangan politik—sementara Netanyahu gagal menghancurkan Hamas.
Perkembangan ini bertepatan dengan serangan Israel terhadap Global Sumud Flotilla, sebuah konvoi kemanusiaan yang terdiri dari aktivis dari lebih dari 70 negara yang berusaha mematahkan blokade Gaza. Serangan itu semakin meningkatkan kemarahan publik internasional terhadap Israel.
Trump, memanfaatkan momentum menjelang batas waktu nominasi Hadiah Nobel Perdamaian pada 10 Oktober, menyambut pernyataan Hamas dan menunggu negara-negara mana yang akan secara resmi menominasikannya.
Bukan Kemenangan, Bukan Kekalahan
Jalur Gaza, yang terkepung dan dibombardir selama dua tahun—menghadapi salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern—tidak menerima makanan maupun amunisi dari negara-negara Arab atau Islam.
Namun, wilayah itu berhasil menorehkan salah satu perlawanan terbesar dalam sejarah dan, melalui manuver politik ini, memperoleh waktu berharga untuk menata kembali kekuatannya.
Hamas, yang mewakili rakyat Palestina dan perlawanan secara keseluruhan, mengambil langkah rasional yang mengubah citra globalnya, merebut kembali inisiatif moral dan psikologis.
Momen ini, meskipun bukan kemenangan mutlak atau kekalahan, menandai awal fase baru dalam perjuangan berabad-abad—sebuah fase di mana perlawanan Palestina terus berlanjut tanpa menyerahkan tanah atau kehormatannya.
Meski harga yang dibayar dalam perang brutal ini sangat besar, rakyat Palestina dan gerakan perlawanan mereka telah menjadikan diri mereka simbol global dari perjuangan untuk kebebasan—dan menjaga agar perjuangan mereka tetap hidup. (FBG)
Sumber: Kantor Berita Tasnim