Munculnya Tatanan Baru di Asia Barat: Akhir Dominasi AS Cs
Operasi Badai Al-Aqsa menandai kemunduran dominasi Barat dan kebangkitan tatanan regional yang mandiri dan berakar pada perlawanan.
Asia Barat, FAKTAGLOBAL.COM — Operasi Badai Al-Aqsa, yang diluncurkan pada 7 Oktober 2023, telah menjadi lebih dari sekadar operasi militer; ia adalah momen penentu dalam lahirnya tatanan geopolitik baru di Asia Barat.
Apa yang dimulai sebagai serangan tak terduga telah berkembang menjadi transformasi mendalam yang membentuk ulang keseimbangan kekuatan di kawasan yang lama didominasi oleh campur tangan Barat dan ekspansionisme Zionis.
Tatanan baru ini—yang dibangun di atas dasar perlawanan, kesadaran publik, dan kemerdekaan bangsa-bangsa—telah menjadikan kerangka pengendalian lama semakin tidak relevan.
Persamaan politik dan militer yang dulu menjamin impunitas Israel dan dominasi Amerika kini tengah runtuh. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak Oktober 2023 telah membuktikan bahwa Asia Barat tidak akan pernah kembali ke keadaan sebelum Operasi Badai Al-Aqsa.
Kemunduran Hegemoni Barat
Tatanan politik baru jarang lahir dari satu peristiwa tunggal; ia muncul melalui konvergensi bertahap dari krisis, konflik, dan kebangkitan kesadaran.
Operasi Badai Al-Aqsa mungkin menjadi pemicunya, tetapi transformasi yang sedang berlangsung di Asia Barat bersifat struktural dan tidak dapat dibalikkan.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, rezim Israel—meskipun mendapat dukungan penuh dari Barat—tidak lagi memegang kendali akhir atas urusan kawasan. Era panjang dominasi Amerika-Israel kini terlihat melemah, digantikan oleh kenyataan yang ditandai oleh otonomi regional dan kerja sama multipolar.
Palestina Kembali ke Pusat Hati Nurani Dunia
Di jantung perubahan ini adalah perjuangan Palestina, yang kembali muncul sebagai poros moral dan politik dalam wacana global. Upaya Israel untuk menghapus Palestina dari agenda internasional telah gagal secara spektakuler.
Lebih dari 150 negara kini mengakui Negara Palestina, sementara forum-forum internasional—dari Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga lembaga-lembaga hak asasi manusia—telah mengalihkan fokusnya pada kejahatan yang dilakukan di Gaza dan wilayah pendudukan. Bahkan Hamas, yang dulu dicap “teroris” dalam narasi Barat, kini menjadi pihak yang tak terhindarkan dalam setiap negosiasi perdamaian atau gencatan senjata.
Kenyataan ini tidak hanya mencerminkan simpati terhadap pihak yang tertindas, tetapi juga kebangkitan kembali narasi perlawanan — sebuah pandangan dunia yang menempatkan keadilan, kedaulatan, dan hak menentukan nasib sendiri di atas dikte Barat.
Reorientasi Arab dan Islam
Ciri lain yang menentukan dari tatanan baru ini adalah pergeseran dalam hubungan Arab dan Islam dengan Israel.
Negara-negara yang pernah mendukung Perjanjian Abraham—seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar—kini mulai menjauh dari upaya normalisasi, menyadari bahwa kemitraan dengan rezim Zionis justru melemahkan stabilitas kawasan.
Kegagalan proyek normalisasi Washington menegaskan tren yang lebih besar: kemunduran pengaruh moral dan diplomatik Amerika. Rezim-rezim yang dulu diyakinkan oleh janji AS tentang “keamanan dan kemakmuran” kini menghadapi kenyataan bahwa bersekutu dengan pendudukan hanya melahirkan ketidakstabilan dan kemarahan publik.
Multipolaritas dan Poros Perlawanan
Operasi Badai Al-Aqsa telah mempercepat konsolidasi tatanan multipolar yang sedang muncul — sebuah tantangan langsung terhadap unilateralisme Amerika Serikat dan sekutunya.
Poros Perlawanan, yang dipelopori oleh Iran, Lebanon, Yaman, Suriah, dan Palestina, kini semakin mendapat dukungan dari kekuatan global seperti China dan Rusia, serta organisasi seperti BRICS, Organisasi Kerja Sama Shanghai, dan Gerakan Non-Blok.
Bersama-sama, aktor-aktor ini menolak sistem unipolar lama yang memungkinkan Washington dan mitra Eropanya mendominasi pengambilan keputusan internasional.
Penyelarasan ini menandai persimpangan strategis antara anti-imperialisme dan multilateralisme, yang menghubungkan gerakan pembebasan regional dengan front global yang menuntut keseimbangan, keadilan, dan kedaulatan.
Harga dari Sebuah Transformasi
Tidak ada transformasi bersejarah yang terjadi tanpa pengorbanan. Kesyahidan para pemimpin perlawanan, genosida di Gaza, perang terhadap Yaman dan Lebanon, serta upaya untuk mengguncang Suriah—semuanya merupakan bagian dari harga berat yang harus dibayar untuk mengubah keseimbangan kekuatan.
Namun tragedi-tragedi ini juga telah memperlihatkan kebangkrutan moral kekuatan Barat, yang keterlibatan terbukanya dalam kejahatan perang telah menghancurkan kredibilitas mereka. Darah anak-anak Gaza dan keteguhan rakyatnya telah melahirkan kesadaran baru—bahwa perlawanan bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban demi kelangsungan hidup dan kehormatan.
Menuju Masa Depan yang Didefinisikan oleh Perlawanan dan Kedaulatan
Pembentukan tatanan baru di Asia Barat masih terus berlangsung, tetapi arah perubahannya sudah jelas. Masa depan kawasan ini tidak lagi akan ditulis di Washington, London, atau Tel Aviv—melainkan akan ditentukan di Teheran, Sana’a, Beirut, dan Gaza.
Senjata pendudukan dan paksaan yang dulu menentukan nasib kawasan kini kehilangan kekuatannya. Yang kini membentuk masa depan adalah kehendak bangsa-bangsa, persatuan kaum tertindas, dan keteguhan perlawanan.
Hegemoni Barat yang dulu berusaha memecah dan menguasai kini menghadapi pembalasannya. Dari abu perang dan penindasan, Asia Barat yang baru sedang bangkit — yang didefinisikan bukan oleh penyerahan, melainkan oleh kedaulatan, solidaritas, dan keteguhan dalam perlawanan. (FG)
Sumber: Mehr News


