Operasi Badai Al-Aqsa: Perang yang Tak Terhindarkan
Sebuah Analisis yang menjelaskan mengapa Badai Al-Aqsa bukan kesalahan perhitungan, melainkan serangan pendahuluan yang mengubah jalannya sejarah
Palestina, FAKTABERITAGLOBAL.COM — Berbeda dengan sejumlah analisis yang menggambarkan Operasi Badai Al-Aqsa sebagai kesalahan strategis, banyak indikasi menunjukkan bahwa bahkan jika operasi ini tidak terjadi sekalipun, perang antara rezim Zionis dan Poros Perlawanan tetap tidak dapat dihindari.
Karena itu, operasi tersebut merupakan serangan pendahuluan yang bertujuan untuk mengubah keseimbangan kekuatan dan mendefinisikan ulang aturan konfrontasi.
Seiring dunia memperingati dua tahun pelaksanaan Operasi Badai Al-Aqsa, perbincangan mengenai hasil dan konsekuensinya kembali mencuat, terutama setelah Hamas secara awal menyetujui proposal gencatan senjata Donald Trump untuk Gaza.
Perkembangan ini kembali memunculkan perdebatan: Apakah operasi tersebut benar-benar menguntungkan bagi Palestina dan, secara lebih luas, bagi Poros Perlawanan?
Harga Mahal dan Pertanyaan yang Tersisa
Setelah dua tahun perang tanpa henti, lebih dari 70.000 warga Palestina telah gugur syahid, lebih dari 200.000 lainnya terluka, dan 90 persen wilayah Gaza hancur, dengan sebagian besar wilayah kini berada di bawah pendudukan rezim Zionis.
Selain itu, masuknya Hizbullah ke dalam konflik sebagai bentuk solidaritas terhadap Hamas juga membawa konsekuensi besar, berpuncak pada kesyahidan Sayyed Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah, pada September 2024 — salah satu kehilangan paling besar bagi Poros Perlawanan.
Beberapa kritikus bahkan mengklaim bahwa jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad pada 18 Desember 2024 merupakan salah satu dampak lanjutan dari Badai Al-Aqsa, dengan alasan bahwa kejatuhan Damaskus adalah hasil dari pukulan terhadap Hizbullah di front Lebanon.
Menentang Narasi “Kesalahan Perhitungan”
Ada dua argumen utama yang menentang pandangan bahwa operasi 7 Oktober adalah langkah gegabah:
1. Konteks Politik: Menantang Jebakan “Normalisasi”
Dimensi pertama dari operasi ini adalah politik. Badai Al-Aqsa muncul sebagai respons terhadap meningkatnya normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel, terutama Arab Saudi.
Bagi Hamas, langkah ini merupakan tindakan putus asa namun disengaja untuk melawan kematian perlahan akibat dua dekade perang dan blokade ekonomi.
Tidak menjadi rahasia bahwa serangan berskala besar semacam itu akan memicu reaksi ekstrem dari Israel. Perlawanan sepenuhnya memahami risiko besar yang akan dihadapi. Namun, Hamas memilih untuk mengambil inisiatif, menulis ulang aturan permainan daripada dibiarkan mati perlahan dalam keheningan.
Meskipun penderitaan yang ditimbulkan begitu besar, operasi ini berhasil menghidupkan kembali isu Palestina, mengembalikannya ke pusat perhatian dunia.
Kini, dari Amerika Utara hingga Asia Timur, jalan-jalan di banyak kota dipenuhi demonstrasi besar mendukung Palestina. Bahkan di Eropa, yang secara tradisional berpihak pada Israel, sejumlah pemerintah kini telah mengakui negara Palestina yang merdeka — sebuah perubahan politik yang tak terbayangkan sebelum 7 Oktober
2. Konteks Militer: Serangan Pendahuluan, Bukan Misi Bunuh Diri
Dimensi kedua adalah militer dan strategis. Badai Al-Aqsa bukanlah langkah nekat menuju kehancuran, melainkan serangan pendahuluan yang diluncurkan sebelum Poros Perlawanan disergap tanpa persiapan.
Menurut pejabat senior Hamas, Israel telah merencanakan pembunuhan terhadap pimpinan Hamas pada kesempatan pertama. Namun bukti menunjukkan bahwa ambisi Tel Aviv melampaui Gaza — menargetkan Hizbullah di Lebanon juga
.
Sebuah dokumenter yang disiarkan oleh Kanal 12 Israel mengungkap bahwa unit intelijen yang terlibat dalam Operasi Pager telah menyusup ke Lebanon sejak September 2023, sebulan sebelum operasi Gaza dimulai. Rencana untuk menyerang Hizbullah telah disiapkan berbulan-bulan sebelumnya, menunggu “jam nol”.
Dengan kata lain, bahkan jika Hizbullah tidak ikut terlibat dalam perang demi mendukung Gaza, kelompok itu tetap tidak akan luput dari agresi Israel. Dengan sistem komunikasi yang telah disusupi dan agen-agen yang telah ditempatkan sebelumnya, jumlah korban mungkin akan jauh lebih besar dari yang terjadi.
Perang yang Lebih Luas dan Sifatnya yang Berkelanjutan
Kita tidak boleh lupa bahwa perang antara Poros Perlawanan dan Israel telah berlangsung jauh sebelum 7 Oktober. Badai Al-Aqsa hanyalah percikan api yang memicu konfrontasi yang lebih luas — yang kini berkembang di berbagai front dan medan tempur.
Jika operasi itu tidak terjadi, Poros Perlawanan akan menghadapi agresi Israel dalam keadaan benar-benar tidak siap, dan menanggung kerugian yang jauh lebih besar.
Namun dengan mengambil inisiatif terlebih dahulu, Poros Perlawanan berhasil mengguncang perhitungan Israel, memaksa rezim tersebut ke dalam perang multi-front yang panjang dan melelahkan.
Yang paling penting, pertempuran ini belum berakhir.
Poros Perlawanan tetap bertahan, menolak memberi rezim Zionis bahkan sedetik pun ketenangan. Meskipun telah banyak berkorban, semangat perjuangan tetap menyala, dan apa yang dimulai sebagai Badai Al-Aqsa kini terus berlanjut sebagai perjuangan abadi demi pembebasan.
(FBG)
Sumber: Tasnim News