Oposisi Venezuela Dianugerahi Nobel Perdamaian Meski Tengah dalam Penyelidikan Kriminal
Penghargaan ini memicu kemarahan di Caracas di tengah penyelidikan terhadap tokoh oposisi yang dituduh berupaya mengguncang stabilitas negara
Venezuela, FAKTABERITAGLOBAL.COM — Komite Nobel Norwegia telah menganugerahkan Penghargaan Nobel Perdamaian 2025 kepada María Corina Machado, mantan kandidat presiden dari oposisi Venezuela yang saat ini menghadapi penyelidikan kriminal serta tuduhan pengkhianatan, konspirasi, dan penghasutan kerusuhan.
Dalam pernyataannya, Komite Nobel menggambarkan Machado sebagai “tokoh pemersatu utama dalam oposisi politik yang sebelumnya sangat terpecah, sebuah oposisi yang menemukan kesamaan dalam tuntutan untuk pemilihan bebas dan pemerintahan yang representatif,” sebagaimana dibacakan oleh Jorgen Watne Frydnes, ketua Komite Nobel Norwegia.
Pengumuman ini menarik perhatian luas karena Machado masih terjerat proses hukum di Venezuela, di mana jaksa menuduhnya, bersama sejumlah tokoh oposisi lainnya, terlibat dalam rencana untuk mengguncang stabilitas negara setelah pemilihan presiden pada 28 Juli 2024.
Sebelum pengumuman penghargaan tersebut, sempat muncul spekulasi bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga termasuk kandidat potensial.
Tahun lalu, penghargaan Nobel Perdamaian diberikan kepada Nihon Hidankyo, kelompok akar rumput Jepang yang mewakili para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Penyelidikan Kriminal terhadap Machado dan Kelompok Oposisi
Pada Maret 2024, Jaksa Agung Venezuela Tarek William Saab menuduh Machado terlibat dalam upaya mengguncang negara, menyusul diskualifikasinya dari pemilihan presiden atas tuduhan korupsi.
Saab menyatakan bahwa kelompok oposisi berupaya memicu pemberontakan anti-negara dengan menggerakkan serikat buruh dan mahasiswa, serta mencoba membangun sayap militer untuk menantang tatanan konstitusional.
Pada Agustus 2024, jaksa Venezuela meluncurkan penyelidikan pidana terhadap dua tokoh oposisi, Edmundo González Urrutia dan María Corina Machado, atas tuduhan menyebarkan hasil pemilu palsu, menghasut pemberontakan, dan berkonspirasi.
Menurut Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (CNE), seluruh dokumen resmi pemilihan telah diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk memverifikasi bahwa Presiden Nicolás Maduro memang menang secara sah dalam pemilu.
“Segala hal yang diminta oleh pengadilan tertinggi republik telah kami serahkan,” ujar Ketua CNE Elvis Amoroso.
Setelah Presiden Maduro mengajukan banding konstitusional, Mahkamah Agung kemudian meluncurkan audit hasil pemilu dan memanggil seluruh 10 kandidat presiden untuk memberikan kesaksian di hadapan Kamar Pemilihan.
Tuduhan Klaim Palsu dan Penghasutan Kekerasan
Jaksa juga menuduh González dan Machado melakukan “pengumuman pemenang palsu”, perampasan wewenang, penghasutan untuk memberontak, dan konspirasi kriminal, setelah kelompok oposisi mengklaim kemenangan secara tidak sah.
Pada 24 Agustus, jaksa memanggil Edmundo González untuk dimintai keterangan terkait situs web yang diduga digunakan oleh aktivis sayap kanan untuk menyebarkan hasil pemilu palsu yang menyatakan Presiden Maduro kalah.
Dalam sidang di hadapan Kamar Pemilihan Mahkamah Agung, perwakilan kubu González mengakui tidak memiliki bukti untuk mendukung tuduhan kecurangan pemilu tersebut.
Jaksa Agung Saab juga menegaskan bahwa González dan tokoh oposisi sayap kanan lainnya bertanggung jawab atas 27 kematian dan 129 luka-luka yang terjadi dalam kerusuhan kekerasan pada 29 dan 30 Juli, setelah mereka menyerukan mobilisasi massa.
Hasil Pemilu dan Narasi Palsu Oposisi
Pemilihan presiden pada 28 Juli 2024 diselenggarakan untuk memilih kepala negara yang akan menjabat selama enam tahun, mulai 10 Januari 2025.
CNE menyatakan bahwa Presiden Nicolás Maduro memenangkan pemilu dengan 51,2% suara, setelah 80% surat suara dihitung.
Hasil jajak keluar (exit poll) menempatkan kandidat oposisi Edmundo González Urrutia di angka 44,2%, sementara Machado mengklaim bahwa González memperoleh 70% suara, dan berjanji akan “membela hasil pemungutan suara” dengan menggerakkan para pendukung oposisi.
Caracas Kecam Peningkatan Militer AS dan Campur Tangan Asing
Pengumuman penghargaan Nobel ini bertepatan dengan meningkatnya ketegangan di kawasan Karibia, di mana Amerika Serikat menambah kehadiran militernya dengan dalih menjaga “stabilitas regional.”
Pemerintah Venezuela mengecam langkah tersebut sebagai tindakan agresi yang mengancam kedaulatan regional, dan menuduh Washington menggunakan retorika demokrasi dan hak asasi manusia untuk membenarkan kebijakan intervensi terhadap negara-negara berdaulat seperti Venezuela dan Kuba.
Sebagai tanggapan, pemerintah Venezuela secara resmi meminta sidang darurat Dewan Keamanan PBB, dengan alasan bahwa peningkatan militer AS tersebut merupakan ancaman langsung terhadap perdamaian.
Kementerian Luar Negeri Kuba juga memperingatkan adanya kampanye agresi AS yang meningkat dengan tujuan menjatuhkan pemerintahan konstitusional Venezuela dan memasang rezim yang didukung Washington.
Menteri Luar Negeri Venezuela, Yván Gil, atas nama Presiden Nicolás Maduro, menyampaikan terima kasih kepada Kuba atas solidaritasnya, sekaligus mengecam “tindakan tidak bertanggung jawab sejumlah pejabat AS yang mendorong perang.”
Ia menegaskan bahwa situasi saat ini, yang “dipicu oleh narasi tanpa dasar,” terus memburuk dan menjadi ancaman serius bagi perdamaian dan stabilitas kawasan.
Penghargaan Kontroversial di Tengah Upaya Destabilisasi
Keputusan untuk memberikan Penghargaan Nobel Perdamaian kepada María Corina Machado meskipun ia masih dalam penyelidikan kriminal dan menghadapi tuduhan pengkhianatan, telah memicu kritik di Venezuela, di mana banyak pihak menilai penghargaan tersebut bermotif politik.
Sementara Caracas melanjutkan proses hukum dan konstitusionalnya untuk membela kedaulatan nasional, penghargaan ini dipandang sebagai upaya untuk melegitimasi tokoh-tokoh yang dituduh berperan dalam destabilisasi Republik Bolivarian.
Di tengah tekanan asing yang terus meningkat, pemerintah Venezuela menegaskan bahwa perdamaian, kedaulatan, dan supremasi hukum tetap menjadi pilar yang tidak dapat ditawar bagi negara Bolivarian. (FBG)