Pakar: AS Bukan Sekutu, Israel Ancaman Terbesar bagi Teluk
Dr. Khalil Al-Anani menyatakan bahwa pemboman Israel di Doha, merupakan sebuah pengkhianatan besar oleh Amerika Serikat, yang mempertahankan kekuatan militernya di Qatar dan negara Teluk lainnya.
Qatar, FAKTABERITAGLOBAL.COM - Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Dr. Khalil Al-Anani menyatakan bahwa pemboman Israel terhadap ibu kota Qatar, Doha, merupakan sebuah “pengkhianatan besar” oleh Amerika Serikat, yang mempertahankan kekuatan militernya di Qatar dan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) lainnya.
Al-Anani menambahkan bahwa apa yang ia sebut sebagai “pengkhianatan besar Amerika” terhadap Qatar ini mengingatkan pada insiden serupa yang disaksikan di Arab Saudi dan UEA selama masa jabatan pertama Donald Trump sebagai presiden, dengan menekankan bahwa apa yang terjadi merupakan ancaman strategis, politik, keamanan, dan militer terhadap negara-negara kawasan.
Selasa lalu, jet tempur Israel membombardir sebuah kompleks perumahan di lingkungan Al-Qatifa di Doha, menargetkan pimpinan Hamas yang diampu oleh Qatar, yang menyebabkan kesyahidan lima warga Palestina dan satu petugas keamanan Qatar.
Amerika Bukan Sekutu
Profesor hubungan internasional di universitas-universitas Amerika itu melanjutkan: “Apa yang berlaku bagi Qatar berlaku pula bagi seluruh Teluk Arab, dan pesannya jelas: tidak ada yang akan melindungimu. Amerika bukanlah sekutu bagi siapa pun, melainkan sekadar makelar di kawasan.”
Ia mencatat bahwa negara-negara Teluk telah menghabiskan miliaran dolar untuk investasi di Amerika, untuk lembaga think tank, dan untuk tokoh-tokoh yang dekat dengan lingkaran pengambilan keputusan di Washington tanpa mendapatkan perlindungan atau jaminan nyata sebagai imbalan.
Dalam sebuah episode rekaman di kanal onlinenya Ilm Nafi’, ia bertanya: “Apa yang telah Teluk peroleh dari hubungan ini dan semua perjanjian tersebut?”
Ia sendiri menjawab: “GCC berada pada titik kritis untuk meninjau kembali hubungannya dengan Washington, yang mengeksploitasi uang dan posisi politik mereka.”
Israel: Bahaya Sebenarnya
Di sisi lain, Al-Anani, profesor madya di Doha Institute for Graduate Studies, menekankan bahwa pemboman Israel terhadap Doha membuktikan bahwa Israel adalah ancaman terbesar bagi kawasan Arab, meskipun selama bertahun-tahun mereka terus berusaha memasarkan apa yang disebut sebagai “ancaman Iran” di Teluk dan kesadaran Arab.
Ia menjelaskan bahwa Tel Aviv tidak hanya mencari normalisasi atau perjanjian kerja sama, tetapi justru menginginkan “negara-negara yang tunduk” pada proyek dan ambisinya, yang membuatnya secara langsung mengancam Turki, Mesir, dan negara-negara lainnya.
Ia menunjukkan bahwa superioritas militer Israel di kawasan menjadikannya lebih berbahaya, dan menyerukan negara-negara Teluk untuk menginvestasikan kekayaan dan keahlian mereka di dalam negeri, mengembangkan industri militer Arab, dan memperkuat aliansi regional dengan Turki, China, atau Rusia.
Tidak Ada Perjanjian Perlindungan
Mengenai sifat hubungan antara Washington dan negara-negara Teluk, Al-Anani menunjukkan bahwa intervensi militer Amerika dimulai dengan Revolusi Iran pada 1979 dan invasi Soviet ke Afghanistan, ketika pemerintahan Presiden Jimmy Carter mengumumkan “Doktrin Carter” pada 1980, yang menetapkan penggunaan kekuatan militer untuk melindungi kepentingan Amerika di Teluk.
Ia menjelaskan bahwa doktrin ini menandai awal dari pergeseran tersebut, yang mengarah pada pembentukan pasukan pengerahan cepat dan kemudian Komando Pusat AS pada 1983, yang mengelola operasi di Teluk dan kemudian memperluas perannya dengan Perang Teluk Pertama dan Kedua.
Namun, meskipun ada kehadiran militer besar ini, Al-Anani menegaskan bahwa tidak ada perjanjian pertahanan timbal balik antara Washington dan negara-negara Teluk yang serupa dengan Pasal 5 Piagam NATO, dengan menekankan bahwa perjanjian yang ada saat ini terbatas pada “kerja sama keamanan dan militer” yang ditujukan untuk melindungi kepentingan Amerika di kawasan.
Menurut perhitungannya, puluhan pangkalan dan lokasi militer Amerika tersebar di seluruh Teluk Arab, Suriah, dan Yordania, yang menampung antara 40.000 hingga 50.000 tentara AS secara permanen. (FBG)