Pimpinan Spiritual Alawite Serukan Mogok Nasional, Protes Pemerintahan Sharaa
Sheikh Ghazal Ghazal mengecam pemaksaan politik, menuntut desentralisasi dan pembebasan tahanan, serta memperingatkan bahwa setiap serangan terhadap komunitas Alawite tak akan dibiarkan tanpa balasan
Suriah, FAKTAGLOBAL.COM — Otoritas spiritual tertinggi Alawite di Suriah, Sheikh Ghazal Ghazal, menyerukan mogok nasional penuh dan kampanye tetap-di-rumah selama lima hari, dari 8 hingga 12 Desember, sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden interim Ahmed al-Sharaa.
Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini memengaruhi seluruh sektor publik dan swasta, dan digambarkan oleh sang ulama sebagai respons damai namun tegas terhadap apa yang ia sebut sebagai meningkatnya represi dan pemaksaan politik rezim saat ini.
Pengumuman Sheikh Ghazal muncul di tengah meningkatnya ketidakpuasan di berbagai wilayah Suriah serta upaya baru aktor-aktor politik yang didukung asing untuk membentuk ulang tatanan internal negara—sebuah pola intervensi yang sejak lama dieksploitasi oleh Washington dan rezim pendudukan Israel.
Kritik Keras terhadap Kepemimpinan Pasca-Assad
Dalam pernyataannya, Sheikh Ghazal mengatakan bahwa rakyat Suriah awalnya berharap kejatuhan pemerintahan sebelumnya akan “mengakhiri tirani.” Namun kenyataannya, menurut dia, negara justru menyaksikan “runtuhnya sisa-sisa tanah air ini atas nama kebebasan.”
Ia menuduh pemerintahan Sharaa memaksa warga mengikuti perayaan yang disponsori negara dalam rangka memperingati satu tahun jatuhnya Bashar al-Assad, menyebutnya sebagai upaya mengganti “satu sistem yang tidak adil dengan sistem lain yang lebih menindas.”
Menurutnya, rakyat kini menghadapi ancaman terhadap mata pencaharian, pekerjaan, dan keselamatan pribadi, sementara pihak berwenang menggunakan intimidasi untuk memaksa kehadiran di acara-acara politik yang “dibangun di atas darah dan penderitaan kita.”
Seruan Akuntabilitas, Desentralisasi, dan Pembebasan Tahanan
Sheikh Ghazal kembali menegaskan tuntutannya, termasuk:
desentralisasi politik dan pemerintahan lokal,
penghentian pembunuhan dan represi,
pembebasan ribuan tahanan sipil dan militer.
Ia menekankan bahwa pesan mengenai hak menentukan nasib melalui sistem federal telah disampaikan, dan bahwa “tidak akan ada kompromi” terkait hak-hak utama komunitasnya.
Sheikh Ghazal memperingatkan bahwa penindasan terhadap demonstrasi di beberapa wilayah Suriah merupakan “percikan api yang tidak akan padam,” menandai berakhirnya era kesunyian yang dipaksakan.
Peringatan atas Serangan terhadap Komunitas Alawite
Dalam salah satu pernyataannya yang paling tegas, Sheikh Ghazal berkata:
“Setiap serangan terhadap komunitas Alawite tidak akan dibiarkan tanpa balasan, tetapi akan disambut dengan banjir dan dada-dada yang terbuka.”
Ia menolak segala upaya untuk memberlakukan apa yang ia gambarkan sebagai sistem politik agama terpusat yang menindas.
“Kami tidak akan menerima emirat politik Islam terpusat yang menyembelih kami berdasarkan identitas kami.”
Pernyataannya mencerminkan meningkatnya kekhawatiran bahwa kekuatan asing—termasuk Amerika Serikat dan rezim Israel—terus berupaya memecah Suriah sepanjang garis sektarian demi keuntungan geopolitik mereka.
Ketika beberapa wilayah memperingati kejatuhan pemerintahan sebelumnya, ketegangan meningkat antara administrasi Sharaa dan komunitas-komunitas yang menuntut akuntabilitas serta reformasi nyata.
Sheikh Ghazal muncul sebagai salah satu suara paling berpengaruh di tengah kekhawatiran rakyat Suriah terhadap campur tangan asing, proyek politik yang dipaksakan dari luar, dan ambisi destabilisasi Washington serta Tel Aviv di kawasan Asia Barat.
Dengan mogok nasional yang kini berlangsung, hari-hari mendatang dapat menjadi penentu bagi babak politik Suriah berikutnya—yang tak lagi ditentukan oleh agenda yang dipaksakan, tetapi oleh tuntutan dan keteguhan rakyatnya sendiri. (FG)


