Saudi vs UEA, Mantan Sekutu yang Terlibat “Perang Senyap” di Yaman
Dewan Transisi Selatan yang didukung UEA merebut kendali atas provinsi-provinsi selatan, menyingkap runtuhnya koalisi pimpinan Saudi dan mempercepat fragmentasi Yaman
Yaman | FAKTAGLOBAL.COM — Yaman kembali menjadi panggung meningkatnya ketegangan antara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), seiring para proksi yang sebelumnya sejalan di selatan dan timur negeri itu kini saling berlawanan.
Perkembangan pada akhir 2025 menunjukkan bahwa perang yang dipaksakan atas Yaman kini justru memakan para perancangnya sendiri, ketika faksi-faksi yang didukung koalisi memasuki fase konfrontasi langsung demi perebutan wilayah, sumber daya, dan dominasi strategis.
Yang terjadi bukan lagi rivalitas tersembunyi, melainkan retakan struktural dalam poros Saudi–Emirat—sebuah kondisi yang semakin mengguncang Yaman dan menyingkap hakikat sesungguhnya dari intervensi asing yang sejak awal dibungkus dengan slogan “legitimasi”.
Pembelahan Politik dan Militer De Facto di Yaman
Selama lebih dari satu dekade, Yaman dilanda perang, blokade, dan fragmentasi. Realitas saat ini mencerminkan pembelahan de facto negara tersebut ke dalam dua zona utama:
Yaman Utara, termasuk ibu kota Sana’a, berada di bawah otoritas Ansarallah, yang tetap menjalankan pemerintahan terpusat dan kendali militer.
Yaman Selatan dan Timur didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang berafiliasi dengan apa yang disebut sebagai “koalisi internasional”, yang pada praktiknya terbelah antara faksi pendukung Saudi dan faksi pendukung UEA.
Negara-negara Barat masih mengakui pemerintahan berbasis di Aden yang dipimpin Rashad al-Alimi, yang beroperasi di bawah naungan Saudi. Namun pengakuan ini berseberangan dengan realitas lapangan, di mana otoritas pemerintahan tersebut terus melemah.
STC yang Didukung UEA Perluas Kendali di Selatan
Dewan Transisi Selatan (STC), yang secara terbuka didukung UEA, telah memperluas jejak militer dan administratifnya secara signifikan di selatan dan timur Yaman. Laporan menyebutkan STC telah menguasai wilayah-wilayah luas, termasuk provinsi strategis seperti Hadramawt dan al-Mahra, dengan pengaruh yang menjalar hingga Marib.
Sejumlah laporan bahkan menyatakan STC kini mengendalikan penuh delapan provinsi selatan—sebuah perkembangan yang belum pernah terjadi sejak penyatuan Yaman pada dekade 1990-an.
Perluasan ini mencakup penyitaan:
Wilayah kaya minyak dan gas
Instalasi militer
Gedung dan infrastruktur pemerintahan
Langkah-langkah tersebut secara serius melemahkan otoritas yang didukung Saudi di Aden, sekaligus menguatkan dorongan STC menuju pemisahan diri atau, setidaknya, otonomi luas dari negara Yaman mana pun yang terpusat.
Koalisi yang Berbalik Mengarahkan Senjata ke Dalam
Ketegangan antara STC dan Dewan Kepemimpinan Presidensial yang didukung Saudi kini melampaui rivalitas politik dan berubah menjadi konfrontasi militer langsung. STC, di bawah kepemimpinan Aidrous al-Zubaidi, secara terbuka menantang otoritas pemerintahan berbasis di Aden, menegaskan bahwa koalisi yang dipaksakan atas Yaman tak lagi mampu menjaga kohesi internal.
Upaya Saudi dan UEA untuk mengelola krisis melalui delegasi bersama dan dialog politik di Aden gagal meredam eskalasi. Fakta di lapangan menunjukkan sebuah aliansi yang terurai oleh kontradiksi internalnya sendiri.
Bentrokan Bersenjata di Hadramawt dan al-Mahra
Pada awal Desember 2025, pertempuran meningkat tajam di Hadramawt, ketika pasukan STC bentrok dengan unit-unit yang loyal kepada pemerintahan Aden di wilayah-wilayah gurun provinsi tersebut. Menurut pernyataan militer, sekitar 32 tentara tewas dan 45 lainnya luka-luka.
Bentrokan ini menandai pergeseran tegas dari sengketa yang sebelumnya dibingkai sebagai persoalan administratif atau politik menjadi konflik bersenjata terbuka antara faksi-faksi yang sama-sama didukung koalisi. Kekerasan ini menegaskan kedalaman retakan dan kegagalan para sponsor koalisi dalam mengendalikan proksi mereka.
Otoritas Rashad al-Alimi Kian Merosot
Posisi Rashad al-Alimi, kepala Dewan Kepemimpinan Presidensial, semakin melemah akibat perkembangan terbaru.
Laporan menyebutkan ia secara efektif telah meninggalkan Aden, menjalankan aktivitasnya dari Riyadh—sebuah langkah yang luas dipahami sebagai bukti menyusutnya pengaruhnya di Yaman selatan.
Pernyataan resmi al-Alimi dan para sekutunya menyerukan agar pasukan STC mundur dari wilayah-wilayah yang dikuasai dan mengalihkan fokus untuk menghadapi Ansarallah. Namun seruan ini nyaris tak berdampak, ketika otoritas yang didukung Saudi kesulitan menegakkan kendali bahkan di wilayah yang secara nominal berada di bawah pemerintahannya.
Media Saudi dan Upaya Mengelola Narasi
Media Saudi, demi membatasi kerusakan politik, sebagian besar menghindari penyebutan langsung UEA sebagai penggerak utama instabilitas di selatan Yaman.
Sebaliknya, pemberitaan menekankan pentingnya Hadramawt dan al-Mahra bagi kepentingan strategis Saudi, serta memperingatkan bahwa langkah STC telah melampaui “garis merah”.
Bersamaan dengan itu, laporan menyebutkan bahwa tekanan politik, media, dan militer Saudi terhadap STC meningkat dalam 48 jam terakhir. Tekanan ini berlangsung di tengah upaya berkelanjutan UEA untuk mengonsolidasikan pengaruh melalui pasukan proksi, menyingkap persaingan yang kian terbuka di dalam koalisi itu sendiri.
Ansarallah dan Terbukanya Realitas Koalisi
Saat Saudi dan UEA saling berebut wilayah, sumber daya, dan jalur strategis, Ansarallah tetap menjadi satu-satunya aktor yang berada di luar perebutan kekuasaan internal tersebut—berdiri bukan sebagai proksi, melainkan sebagai kekuatan nasional yang menolak dominasi asing.
Konflik internal koalisi menyingkap satu kebenaran mendasar: perang terhadap Yaman tidak pernah bertujuan memulihkan legitimasi atau stabilitas.
Sebaliknya, perang itu berfungsi sebagai proyek yang selaras dengan kepentingan regional Amerika Serikat dan Israel, yang menargetkan penguasaan jalur perairan strategis, pelemahan kekuatan independen, dan rekayasa ulang peta politik Yaman.
Perkembangan terbaru di selatan dan timur Yaman menunjukkan bahwa ketegangan antara pasukan STC yang didukung UEA dan otoritas yang didukung Saudi telah memasuki fase yang menentukan dan berbahaya.
Ini bukan lagi sekadar tawar-menawar politik, melainkan konflik yang mengancam menggambar ulang peta Yaman, memperdalam fragmentasi, dan semakin mengguncang kawasan.
Ketika para mantan sekutu terlibat dalam “perang senyap” satu sama lain, intervensi Saudi–Emirat terus terurai—meninggalkan Yaman dalam bayang-bayang perpecahan dan penderitaan yang lebih besar, sekaligus menegaskan bahwa koalisi berbasis intervensi asing pada akhirnya runtuh oleh kontradiksi internalnya sendiri. (FG)
Sumber: Tasnim




