Siapakah Haitham al-Tabatabai, Komandan Hizbullah yang Gugur Syahid?
Sebuah publikasi yang menunjukkan tentang perjalanan hidup, warisan militer, dan dampak strategis seorang tokoh pendiri Perlawanan yang gugur dalam agresi Israel
Lebanon, FAKTAGLOBAL.COM — Perlawanan Islam telah merilis biografi lengkap komandan militernya yang senior, Haitham Ali al-Tabatabai — yang dikenal luas dengan panggilan Sayyed Abu Ali — yang gugur syahid pada Minggu lalu akibat agresi udara Israel di Wilayah Selatan Beirut. Serangan kriminal tersebut juga menewaskan sejumlah rekannya.
Lahir pada 5 November 1968 di distrik al-Bashoura, Beirut, Sayyed Abu Ali bergabung dengan Perlawanan Islam sejak tahap awal pembentukannya.
Menurut biografi yang dirilis oleh media militer Perlawanan, ia naik cepat dalam struktur komando sebagai salah satu komandan lapangan paling berdedikasi dan cakap, menjalani berbagai pelatihan militer dan kepemimpinan yang mempersiapkannya menghadapi kehidupan panjang di garis depan melawan pasukan pendudukan Israel dan para pendukungnya di Amerika Serikat.
Kehidupan yang Dibentuk oleh Perlawanan
Sejak awal perjalanan militernya, Sayyed Abu Ali memainkan peran aktif dalam sejumlah babak paling menentukan dalam perjuangan Lebanon melawan pendudukan.
Ia ikut serta dalam operasi elite yang menargetkan pasukan Israel dan para kolaboratornya, khususnya pada masa pra-pembebasan Lebanon Selatan sebelum tahun 2000.
Ia juga memegang peran lapangan penting dalam menghadapi agresi Israel selama perang 1993 dan 1996, berkontribusi pada operasi-operasi yang menunjukkan meningkatnya kemampuan Perlawanan.
Komandan Poros Nabatieh (1996–2000)
Antara 1996 hingga 2000, Sayyed Abu Ali memimpin Poros Nabatieh. Pada periode ini, ia menjadi salah satu komandan utama dalam operasi Berkat al-Naqar di wilayah Shebaa Farms yang diduduki — sebuah pukulan signifikan terhadap pasukan pendudukan Israel.
Kepemimpinannya di poros ini memainkan peran penting dalam membentuk kondisi pertempuran menjelang pembebasan bersejarah Lebanon Selatan pada Mei 2000.
Komando Poros Khiam (2000–2008)
Setelah pembebasan, Sayyed Abu Ali mengambil alih komando Poros Khiam, sebuah front strategis yang terancam oleh pelanggaran Israel hampir setiap hari dan operasi-operasi rahasia.
Selama perang Juli 2006, ia memainkan peran kepemimpinan yang menentukan, mengarahkan sejumlah operasi paling kritis dan berdampak besar dari Perlawanan Islam terhadap posisi militer Israel.
Kiprahnya berkontribusi signifikan pada kekalahan memalukan Israel dalam perang tersebut — sebuah kekalahan yang hingga kini diakui para pejabat Israel sebagai hasil dari kecanggihan dan disiplin militer Hizbullah.
Peran Fondasional di Pasukan Intervensi & Pasukan Radwan
Setelah kesyahidan komandan legendaris Hajj Imad Mughniyeh, Sayyed Abu Ali ditunjuk sebagai kepala Pasukan Intervensi. Ia memainkan peran penting dalam pembentukan dan pengembangan Pasukan Radwan, unit elite yang kini dianggap sebagai salah satu kekuatan paling tangguh dalam menghadapi pendudukan Israel.
Perannya tidak terbatas pada Lebanon. Biografi tersebut menegaskan bahwa ia diberi tanggung jawab militer tingkat tinggi di berbagai arena dalam Poros Perlawanan, berkontribusi pada koordinasi multi-front dan perencanaan strategis regional.
Peran Utama dalam Operasi Badai Al-Aqsa & Pertempuran Kaum Perkasa
Pada tahun 2023, Sayyed Abu Ali menjadi komandan operasional utama selama Operasi Banjir Al-Aqsa, mendukung koordinasi pertempuran di seluruh jajaran Perlawanan.
Pada 2024, selama Pertempuran Kaum Perkasa, ia mengawasi dan mengarahkan upaya militer besar Perlawanan, kembali menunjukkan visi strategis dan keteguhannya.
Setelah pertempuran penting tersebut, ia memegang kepemimpinan militer penuh dalam Perlawanan Islam di Lebanon, menegaskan posisinya sebagai salah satu komandan paling berpengaruh di generasinya.
Warisan Seorang Pemimpin di Awal Kebangkitan
Biografi tersebut menggambarkan Sayyed Abu Ali sebagai komandan yang hidupnya tak terpisahkan dari kebangkitan Perlawanan — dari masa-masa fondasinya hingga posisinya saat ini sebagai salah satu kekuatan anti-pendudukan paling tangguh di kawasan.
Para syuhada yang bersama-sama bertempur dengannya menggambarkan dirinya sebagai pemimpin “yang tidak pernah lelah, tidak pernah ragu, dan tidak pernah mundur dalam membela tanah air, rakyatnya, dan martabat kaum tertindas.”
Hizbullah menegaskan bahwa kesyahidannya — di tangan pendudukan Israel dan dengan dukungan politik serta militer penuh dari Amerika Serikat — akan semakin menguatkan tekad para pejuang Perlawanan dan memperkokoh determinasi mereka untuk menghadapi agresi Israel dan campur tangan Amerika di seluruh kawasan. (PW)


