Suara Abadi Sayyid Hassan Nasrallah: Iman, Strategi, dan Perlawanan
Melalui legitimasi religius, wawasan politik, dan kepiawaian media, ia mengubah Hizbullah dari kelompok perlawanan lokal menjadi kekuatan regional dan global yang membentuk geopolitik yang kompleks.
Lebanon, FAKTABERITAGLOBAL.COM – Syahid Sayyid Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah yang telah gugur, mewujudkan arketipe seorang pemimpin revolusioner yang pengaruhnya melampaui batas-batas nasional.
Melalui perpaduan unik antara legitimasi religius, wawasan politik, dan kepiawaian media, ia mengubah Hizbullah dari kelompok perlawanan lokal menjadi aktor regional dan global yang mampu menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks.
Menyelami Seni Pidato Nasrallah
Pada tahun 2006, kata-kata Sayyid Hassan Nasrallah mengukir citra dalam sejarah: bukan hanya tentang perlawanan, tetapi tentang seorang pemimpin yang suaranya mampu membangkitkan imajinasi kolektif selama generasi.
Pidato-pidatonya merumuskan doktrin mulai dari deterensi “melampaui Haifa” hingga “pembalasan yang terukur,” membentuk ulang kalkulasi keamanan “Israel” dan memperluas kehadiran strategis Hizbullah.
Di luar medan tempur, ia membangun sebuah “poros perlawanan” yang menyatukan Palestina, Iran, Irak, Suriah, dan Yaman, menghubungkan berbagai gerakan dalam visi anti-imperialis yang terkonsolidasi.
Di tanah airnya Lebanon, ia menyeimbangkan kepemimpinan terpusat dengan pelaksanaan yang terdesentralisasi, sebuah kerangka yang memungkinkan Hizbullah bertahan menghadapi hambatan politik dan militer yang berubah-ubah dengan keteguhan dan kemampuan beradaptasi.
Kepemimpinan yang Berakar pada Spiritualitas
Di inti kefasihannya terdapat genealogi spiritualnya, terinspirasi oleh Nabi Muhammad, Imam Ali, Imam Husain, dan Sayyidah Zainab — model abadi kefasihan, keberanian, dan pengorbanan.
Pidato-pidatonya, yang berakar dalam kitab suci dan tradisi moral, membawa ketetapan yang melampaui kekejaman Barat dan sekutunya.
Warisan kepemimpinannya juga dibentuk oleh Imam Moussa al-Sadr dan Pemimpin Iran Ayatullah Sayyid Rouhollah Khamenei. Gambaran integritas dan pengorbanannya memberikan Hizbullah kredibilitas tidak hanya di kalangan Syiah, tetapi juga di seluruh lanskap sektarian Lebanon.
Pidato sebagai Senjata Perlawanan
Sedikit pemimpin yang mampu menandingi kepiawaian komunikasi Sayyid Nasrallah. Pidato-pidatonya, disiarkan langsung kepada jutaan orang, memadukan analisis politik yang tenang dengan daya tarik emosional dan retorika perlawanan.
Ia menerjemahkan realitas kompleks ke dalam bahasa yang mudah dipahami, seringkali mengaitkannya dengan narasi sejarah yang lebih luas.
Dr. Denijal Jegić dari Universitas Amerika Lebanon mengatakan kepada Al Mayadeen English: “Sementara pidato-pidato Sayyid Nasrallah secara alami memuat metafora dan analogi, jangkauannya yang luas dan daya tarik yang besar berpijak pada signifikansinya sebagai sosok cerdas, karismatik, dan jujur yang mewakili sebuah perjuangan adil yang banyak orang di Lebanon maupun di luar Lebanon mengidentifikasi diri dengannya.”
Retorikanya bersifat simbolis — menghormati para syuhada, merayakan keteguhan, dan menegaskan kedaulatan dalam menghadapi hegemoni AS dan Israel. Pidato-pidatonya menjadi bagian dari medan tempur, diawasi ketat oleh “Israel” sebagai pesan strategis.
Kemenangan yang Menentukan, Pencapaian yang Bertahan
Sayyid Nasrallah memimpin tiga momen penting:
pembebasan Lebanon selatan pada tahun 2000,
kemenangan Hizbullah dalam agresi Israel 2006,
dan dukungan tanpa henti untuk Gaza hingga syahadahnya.
Tonggak-tonggak ini meneguhkan statusnya sebagai figur transnasional. Pengaruhnya meluas ke Gaza, Yaman, dan seterusnya, sekaligus berinvestasi dalam program kemanusiaan bagi pengungsi dan kaum dhuafa — mendefinisikan perlawanan sebagai strategi sekaligus identitas.
Kepemimpinan Melampaui Medan Tempur
Personanya memadukan kehangatan dan kecerdasan strategis. Ia bisa mengekspresikan kesedihan, kemarahan, kegembiraan, dan humor dalam pidato yang sama, menyentuh hati orang biasa sekaligus menjaga disiplin.
Kepemimpinannya mencerminkan empati yang dipadukan dengan ketegasan, fleksibilitas intelektual, serta komitmen pada pendidikan dan budaya.
Mustafa al-Saray, seorang akademisi Irak, menggambarkan pidato-pidatonya sebagai “tidak pernah tanpa arah” — masing-masing memiliki alur yang jelas, memadukan refleksi, perlawanan, bimbingan spiritual, dan kritik politik.
Arketipe Revolusioner Global
Sayyid Nasrallah berdiri di antara ikon perjuangan anti-imperialis global — Nelson Mandela, Che Guevara, Kozo Okamoto, Jamal Abdel Nasser.
Seperti Mandela, ia melihat legitimasi dalam perlawanan yang berprinsip.
Seperti Gandhi, ia mewujudkan kerendahan hati dan otoritas moral.
Seperti Che Guevara dan Kōzō Okamoto, perjuangannya melampaui batas nasional.
Jurnalis Yaman Ahmad Yabari mengatakan kepada Al Mayadeen English: “Ia mewakili sekolah kejujuran di era slogan kosong … seorang pemimpin kemenangan dan martabat yang penjelasannya mengungkap kebenaran dan mengantisipasi apa yang akan datang.”
Keasliannya terletak bukan hanya pada kata-kata tetapi juga pada pengorbanan — mengubah pidatonya menjadi slogan-slogan perlawanan.
Suara Kemanusiaan
Pada Oktober 2023, di tengah genosida di Gaza, ia berjanji bahwa Hizbullah tidak akan pernah meninggalkan rakyat Palestina. Pada Juni 2024, meskipun mendapat ancaman, ia menyatakan Hizbullah “tidak takut apa pun dan akan berjuang tanpa batas dan tanpa perbatasan” hingga Gaza mendapatkan gencatan senjata yang berkelanjutan.
Pidatonya yang terakhir setelah serangan pager Israel bergema dengan kemanusiaan yang mendalam: “Berbahagialah para syuhada kalian, berbahagialah keluarga para syuhada kalian, berbahagialah mereka yang terluka di rumah sakit… berbahagialah semua orang yang telah memikul tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban moral, kemanusiaan, dan agama ini dalam mendukung Gaza, yang sedang menghadapi genosida, pembunuhan massal, kelaparan, kehausan, penyakit, dan pengepungan.”
Kompas Melampaui Syahadah
Suara Sayyid Hassan Nasrallah menjadi kompas moral, kekuatan pemersatu, dan inspirasi global.
Meski telah syahid, ia tetap abadi — kepemimpinan 33 tahunnya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan.
Kata-katanya terus membimbing gerakan-gerakan, menapaki peta jalan untuk membebaskan tanah yang diduduki, menegakkan martabat, dan menolak penindasan. (FBG/Al-Mayadeen)