Suriah Satu Tahun Setelah Assad: Transformasi Jolani, Kecemasan Minoritas, dan Serangan Israel
Kepergian Assad bukanlah momen kemenangan maupun kekalahan, melainkan awal dari ketidakpastian baru. Kekosongan yang ditinggalkannya membuka ruang bagi kekuatan domestik maupun asing
Suriah, FAKTAGLOBAL.COM - Pada 8 Desember 2024, Suriah memasuki fase baru ketika Damaskus jatuh dan kekuasaan panjang Partai Ba’ath berakhir.
Bashar al-Assad meninggalkan negara itu menuju Rusia, di mana ia diberikan suaka. Bagi banyak warga Suriah, kepergian Assad bukanlah momen kemenangan maupun kekalahan, melainkan awal dari ketidakpastian baru. Kekosongan yang ditinggalkannya membuka ruang bagi kekuatan domestik maupun asing untuk membentuk arah masa depan Suriah.
Janji Sharaa
Pada Januari, Ahmed al-Sharaa—lebih dikenal sebagai Abu Mohammad al-Jolani, mantan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—diangkat sebagai presiden transisi. Nama julukannya merujuk pada akar keluarganya di Dataran Tinggi Golan, wilayah yang dianeksasi Israel setelah perang 1967.
Pada peringatan satu tahun kepergian Assad, Sharaa tampil di Masjid Umayyah di Damaskus, mengenakan seragam militer, memimpin salat subuh. Dalam pidatonya, ia berjanji membangun kembali Suriah “dari utara hingga selatan, dari timur hingga barat,” memproyeksikan keyakinan dan tekad.
Namun simbolisme seorang mantan komandan militan yang kini memimpin doa di Damaskus menegaskan paradoks kepemimpinan baru Suriah: seorang pria yang dulu diburu sebagai teroris kini mengklaim mandat pembaruan nasional.
Kekhawatiran Hak Asasi Manusia
Kantor HAM PBB menyuarakan kekhawatiran atas lambatnya proses keadilan di bawah otoritas sementara. Laporan sepanjang tahun lalu menunjukkan adanya pembunuhan, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual, penghancuran rumah, serta pembatasan kebebasan.
Komunitas minoritas—Alawi, Druze, Kristen, dan Badui—menjadi pihak yang paling terdampak, dengan meningkatnya ujaran kebencian yang memicu ketegangan. Pembantaian Maret lalu di wilayah-wilayah Alawi, dengan sekitar 1.400 korban jiwa menurut penyelidik PBB, menjadi pengingat betapa rapuhnya jalinan sosial Suriah.
Para analis memperingatkan: tanpa mekanisme keadilan yang kredibel, luka sektarian akan semakin dalam dan menciptakan lahan subur bagi bangkitnya kembali pemberontakan bersenjata.
Ekspansi Israel
Israel memanfaatkan lemahnya kondisi Suriah untuk memperluas pendudukannya. Setelah jatuhnya Assad, Israel menyatakan perjanjian pelepasan 1974 tidak lagi berlaku dan bergerak masuk ke zona penyangga, membangun pos pemeriksaan dan menahan warga Suriah. Wilayah kendalinya bertambah sekitar 400 kilometer persegi, disertai intensifikasi serangan udara termasuk di Damaskus.
Serangan bulan lalu di Beit Jinn yang menewaskan 13 orang disebut Suriah sebagai “kejahatan perang yang nyata.” Liga Arab menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.
Ekspansi ini bukan kebetulan. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kembali menggaungkan gagasan “Israel Raya,” mengklaim bahwa penguasaan wilayah adalah misi sejarah sekaligus kebutuhan keamanan. Dalam pidatonya tahun 2025, Netanyahu menyatakan:
“Tanah Israel bukan hanya masa kini kami; itu adalah takdir kami. Kami tidak akan pernah mengembalikan Dataran Tinggi Golan, dan kami tidak akan menyerahkan wilayah yang diperlukan untuk keamanan kami.”
Para menteri garis kerasnya lebih ekstrem lagi. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich berkata:
“Mimpi Israel Raya bukan slogan, itu kewajiban kami. Lemahnya Suriah adalah kesempatan untuk mengamankan perbatasan secara permanen.”
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir menegaskan:
“Perjanjian pelepasan sudah mati. Israel harus memperluas kedaulatannya ke mana pun keamanan menuntut, termasuk di Suriah.”
Retorika yang dulu dianggap pinggiran kini menjadi kebijakan resmi. Para analis menilai langkah Israel di Suriah mencerminkan strateginya di Palestina: menormalkan pendudukan melalui perluasan bertahap, diperkuat oleh superioritas militer dan narasi keamanan.
Jika Suriah tetap terpecah, langkah-langkah teritorial Israel bisa menjadi permanen.
Standar Ganda Barat
Transformasi al-Sharaa—yang sebelumnya diburu sebagai militan Al-Qaeda dengan hadiah jutaan dolar—menjadi kepala negara yang dihormati di Gedung Putih menunjukkan standar ganda luar biasa dalam kebijakan Barat.
Kurang dari setahun lalu ia buronan; kini Sharaa disambut oleh para pemimpin dunia, termasuk Donald Trump yang memujinya sebagai “pria yang memberi harapan bagi Suriah.” Dalam hitungan minggu setelah ia berkuasa, diplomat senior Amerika tiba di Damaskus, hadiah buron dihapus, dan sanksi mulai melunak. Caesar Act, yang dulu paling keras terhadap Suriah di bawah Assad, telah ditangguhkan dan mungkin akan dicabut.
Langkah ini dipandang luas sebagai upaya memutihkan masa lalu Jolani. Pemerintah Barat yang dulu mengecamnya sebagai teroris kini mempromosikannya sebagai negarawan. Media pun ikut berperan: CNN menyebutnya “revolusioner berjas,” The Washington Post menggambarkannya sebagai sosok pragmatis dan karismatik, sementara The Daily Telegraph bahkan menyiratkan bahwa ia mampu membangun Suriah yang menghormati minoritas.
Namun kelompok HAM memperingatkan bahwa ini ilusi berbahaya. Christian Solidarity International menuduh diplomat Barat “berlomba-lomba memulihkan citra diktator jihadis Sunni baru Suriah,” meskipun ia tetap terdaftar sebagai teroris oleh AS dan Dewan Keamanan PBB.
Para analis melihat ini sebagai contoh klasik standar ganda Barat: “teroris” kemarin menjadi “mitra” hari ini jika ia bisa memberikan stabilitas, kerja sama intelijen, atau posisi strategis melawan Iran.
Penulis Dan Kovalik menyimpulkannya dengan gamblang:
“AS dan NATO sedang memutihkan para proxy teroris mereka sebagai pemerintah baru.”
Reaksi Kelompok Militan
Bagi kelompok-kelompok militan keras, penerimaan Sharaa oleh Barat adalah tanda pengkhianatan. Mereka menuduhnya menjual agamanya dan sejarahnya. Kanal ISIL (ISIS/Daesh) yang dipantau BBC terus menuduh al-Sharaa mengkhianati kaum Sunni Suriah, mengklaim bahwa ia telah lama menjadi agen AS dan Inggris.
Narasi ini berupaya memecah dukungan Sunni terhadap pemerintah interim dan mendorong kembali para pejuang ke dalam militansi. Para analis memperingatkan: jika kekerasan sektarian kembali meletus, Israel akan diuntungkan secara strategis. Suriah yang terpecah tidak akan mampu membangun kembali militernya atau menantang posisi Israel di Golan.
Dalam kondisi demikian, Israel dapat melanjutkan serangan, memperluas kehadiran darat, dan menormalkan pendudukannya atas nama “keamanan.”
Masa Depan Suriah
Masa depan Suriah tetap diselimuti ketidakpastian. Meski Sharaa mendapatkan pengakuan internasional, legitimasi di luar negeri tidak menjamin stabilitas di dalam negeri.
Komunitas minoritas tetap rentan, luka sektarian masih segar, dan kelompok garis keras siap mengeksploitasi keluhan-keluhan itu.
Sementara itu, ekspansi Israel dan ambisi ekstrem kanan Israel mengancam mengubah batas-batas Suriah secara de facto. Para analis memperkirakan: kecuali negara mampu memulihkan otoritas dan meredakan ketegangan sektarian, Suriah berisiko menjadi medan perebutan kepentingan asing secara permanen.
Tahun-tahun mendatang akan menjadi ujian apakah pemerintahan Sharaa dapat bertahan—atau apakah Suriah akan terus terperangkap antara pragmatisme Barat, ekspansionisme Israel, dan kebangkitan militansi. (FG)




