Tak Cukup dengan Kelaparan dan Pembantaian Massal, RSF Teror Warga El-Fasher yang Berusaha Mengungsi
Ribuan orang tiba dalam kondisi amat kurus di Tawila saat para saksi menceritakan pembantaian massal, pemerkosaan, kelaparan, dan penjarahan bersenjata oleh pasukan Rapid Support Forces
Sudan, FAKTAGLOBAL.COM — Ratusan penyintas bertubuh sangat kurus dari El-Fasher, Sudan, telah tiba di Tawila setelah pasukan Rapid Support Forces (RSF) merebut benteng terakhir Angkatan Darat Sudan di Darfur Utara.
Mereka yang berhasil melarikan diri menggambarkan sebuah kota yang dilanda kelaparan, pembantaian massal, dan kekerasan seksual sistematis setelah 18 bulan pengepungan yang memutus pasokan makanan dan memaksa warga makan pakan ternak untuk bertahan hidup.
Sekitar 10.000 pengungsi telah memadati klinik Médecins Sans Frontières (MSF), sementara 60.000 lainnya melarikan diri menuju lokasi yang tidak diketahui dan hingga 200.000 orang kemungkinan masih terperangkap.
Sebuah pemantau kelaparan global telah mengonfirmasi kondisi kelaparan di El-Fasher sebelum kota itu jatuh, sebuah bencana kemanusiaan yang diperkirakan akan terus berlangsung hingga Januari.
Perempuan dan Anak Dipaksa Merangkak, Dirampok di Bawah Todongan Senjata
Para penyintas melarikan diri dengan berjalan kaki dan kereta keledai, membawa anggota keluarga yang terluka dan anak-anak yatim.
Di antaranya adalah Fatuma, yang melarikan diri bersama tiga anak yatim setelah orang tua mereka tewas akibat serangan drone saat mencari makanan.
Bayi itu—baru berusia 40 hari—menangis terus-menerus karena kelaparan. Sang kakak perempuan terluka oleh serpihan peluru di dalam tempat perlindungan sebelum pelarian.
Di jalan, pejuang RSF menghentikan rombongan mereka.
“Mereka memaksa kami meletakkan bayi itu di tanah, memaksa kami semua tiarap, dan merampok semua yang kami miliki,” kata Fatuma sambil menangis setelah sampai di klinik.
Sebanyak 170 anak tanpa pendamping lainnya tiba di Tawila; semuanya dinyatakan mengalami malnutrisi.
Koordinator proyek MSF, Sylvain Penicaud, menggambarkan para pasien sebagai “sangat kurus,” dengan hampir 1.000 kasus trauma akibat serangan di dalam kota dan sepanjang rute pelarian.
Kota Tanpa Rumah Sakit, Rakyat Tanpa Harapan
Rumah sakit terakhir di El-Fasher mengalami serangan berulang sebelum akhirnya lumpuh total. Para dokter kehabisan antibiotik, perban, dan kebutuhan dasar medis, meninggalkan patah tulang yang tidak diobati dan luka yang terinfeksi.
Kondisi ini memaksa keluarga memilih antara mati di dalam kota atau menghadapi eksekusi di jalanan.
ICC Isyaratkan Kejahatan Perang
Kantor Kejaksaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyatakan keprihatinan atas laporan pembantaian massal dan kekerasan seksual selama serangan RSF, seraya mencatat bahwa tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.
ICC menyebut yurisdiksinya atas Darfur melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1593 dan merujuk pada vonis terbaru terhadap komandan Janjaweed Ali Kushayb sebagai preseden.
Meskipun pimpinan RSF secara publik mengklaim akan menghukum pelanggaran, kelompok hak asasi manusia sebelumnya telah menuduh RSF melakukan pembersihan etnis di tahap awal konflik.
Pengepungan Ditopang Impunitas
Pengepungan kelaparan oleh RSF dan pengusiran paksa warga—dipadukan dengan penjarahan bersenjata, ancaman eksekusi, dan kekerasan seksual yang terdokumentasi—menunjukkan kampanye teror yang dirancang secara sistematis, bukan kekacauan pertempuran.
Ini adalah strategi perang yang dijalankan terang-terangan terhadap populasi sipil yang terjebak, mencerminkan pola yang sama di mana milisi yang disponsori negara merasa dunia akan membiarkan mereka bertindak semaunya.
Para penyintas yang tiba di Tawila bukan sekadar pengungsi—mereka adalah saksi kejahatan yang berusaha dihapus oleh RSF melalui kelaparan, peluru, dan ketakutan.
Suara mereka menembus keheningan wilayah yang dilukai oleh impunitas, dan kedatangan mereka menegaskan apa yang dunia enggan akui dengan lantang: El-Fasher bukan jatuh dalam pertempuran. Kota itu dibuat kelaparan, dibombardir, dijarah, dan berdarah. (FG)


